Mufsidûn
Mufsidûn ialah kata dalam bahasa Arab. Kata
itu dapat dimaknai sebagai koruptor-koruptor kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan
untuk melakukan korupsi bukan pemandangan baru lagi bagi bangsa ini. Berita
tentang pejabat-pejabat yang terjerat kasus korupsi marak menghiasi media massa.
Lebih ironis lagi, hukum di negara ini benar-benar serupa panggung sandiwara. Mufsidûn tidak menerima hukuman yang
semestinya. Banyak koruptor yang cepat bebas dari penjara karena ringannya
vonis yang diberikan. Apalagi, tidak jarang mereka mendapat remisi.
Tak perlu dipungkiri lagi bahwa
Islam menentang segala bentuk ketidakjujuran, termasuk korupsi. Kisah tentang
Khalifah Umar yang mematikan lampu minyak ketika berbincang dengan anaknya
adalah contoh nyata pemimpin yang menjaga diri dari tindakan korupsi. Umar
sengaja mematikan lampu minyak di ruang kerjanya karena minyak dalam lampu
dibeli dengan uang rakyat, sementara urusan dengan putranya bukanlah urusan
negara. Walaupun Umar punya kuasa untuk menggunakan fasilitas-fasilitas sebagai
khalifah, Umar tak ingin menyalahgunakan kekuasaannya. Umar tidak mau korupsi,
sekalipun hanya korupsi kecil macam minyak di dalam lampu.
Ada teladan lain yang “lebih
dekat” tentang bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Contoh teladan itu
bernama Polisi Hoegeng. Hoegeng pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan
Kepolisian RI (kini Kapolri) pada 1968-1971. Ketika Hoegeng baru saja pindah ke
rumah dinasnya yang baru, Hoegeng sudah mendapatkan kiriman barang-barang mewah
dari para cukong. Cukong-cukong itu hendak menyuap Hoegeng. Namun, dengan tegas
Hoegeng menolak semuanya. Sama seperti Umar, Hoegeng tidak menyalahgunakan
kekuasaannya.
Sikap Hoegeng itu amat istimewa
di mata mendiang Gus Dur. Sampai-sampai Gus Dur pernah berseloroh soal tiga
polisi jujur. Kata Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur,
patung polisi, dan Polisi Hoegeng.
Cerita tentang Khalifah Umar dan
Polisi Hoegeng memang “hanya” sebuah kisah. Namun, kisah itu sejalan dengan
hadis Rasulullah yang berbunyi, “setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang yang
dipimpinnya.” Umar dan Hoegeng adalah realitas yang perlu dimaknai lebih
mendalam.
Orang Islam harus melihat
realitas melalui Islam. Begitu bunyi pernyataan Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu
Sejarah Universitas Gajah Mada cum
intelektual muslim. Dalam buku Islam
Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo memaparkan tentang perlunya pengilmuan Islam. Pengilmuan
Islam akan membuat orang Islam melihat realitas melalui Islam.
Orang Islam harus melihat
realitas melalui Islam karena -menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan- realitas itu tidak dapat dilihat
secara langsung oleh manusia. Tetapi realitas dilihat melalui tabir (kata,
konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak
seperti anjing melihat tulang; animal’s
faith tidak pernah terjadi pada manusia. Misalnya di daerah Kejawen (dulu),
orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Roro Kidul, upacara
labuhan, sastra Babad Tanah Jawi (raja adalah keturunan para nabi dan para
dewa), tata cara sembah, warna paying, dan sebagainya.
Karena manusia tak dapat
melihat realitas secara langsung, pengilmuan Islam menjadi amat diperlukan.
Dalam pengilmuan Islam, Islam sebagai teks (Al-Quran dan As-Sunnah) dihadapkan
kepada realitas (baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah). Dari teks
ke konteks.
Hadis Rasulullah (teks) di atas
sangat tepat dihadapkan pada realitas Umar dan Hoegeng (konteks). Ajaran Islam
adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Umar dan Hoegeng telah berhasil
menentukan sikap berdasarkan salah satu nila universal dalam Islam.
Namun, nilai universal Islam
tersebut belum menyentuh bangsa ini. Sebaliknya, korupsi merajalela
dimana-mana. Apalagi sejak hubungan sentralistik pusat-daerah coba diredam
lewat penerapan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah lahir pasca
tumbangnya Soeharto, sang penguasa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba yang sarat
dominasi militer, dengan otoritarianismenya, telah menciptakan sentralisasi
kekuasaan. Pemerintah pusat adalah segala-galanya. Wewenang pemerintah daerah
amat terbatas untuk menentukan kebijakannya sendiri, untuk menetapkan kebijakan
yang ia anggap paling baik bagi daerahnya. Setelah Orba runtuh, sentralisasi
kekuasaan tersebut coba direduksi dengan kebijakan Otonomi Daerah.
Sayang, lahirnya Otonomi Daerah
ikut melahrikan banyak Mufsidûn. Jika
beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi di pusat, pasca Otonomi, korupsi ikut tumbuh subur di daerah.
Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab
maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak
calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari
pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik
partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat.
Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat
berita seputar korupsi di daerah. Rubrik Politik majalah itu memberitakan
korupsi yang dilakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Merujuk dari
Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah
tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi
ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur
dan 540 kabupaten dan kota.
Sudah pasti,
banyaknya Mufsidûn berbanding
terbalik dengan kesejahteraan rakyat. Penguasa yang memanfaatkan kuasanya untuk
korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada petani yang sejahtera
ketika subsidi pengadaan benih dikorupsi. Gedung sekolah yang bobrok tidak
mungkin diperbaiki ketika dana perbaikannya masuk ke kantong para koruptor.
Kualitas pendidikan makin terpuruk sebab dana pengadaan buku dikorupsi oleh
bupati. Pengusaha kecil sulit maju ketika bantuan modal yang sampai ke tangan
mereka telah disunat. Buruh menderita Pneumonia sampai mati akibat tidak mampu
berobat, karena jaminan kesehatan yang menjadi haknya tak kunjung ia dapatkan.
Kalau sudah
begini, kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis. Selalu, selalu dan selalu
rakyat yang jadi korban. Mufsidûn dan
korupsinya ialah potret buram dari bahaya politik Otonomi Daerah!
* Pertama kali dimuat dalam editorial majalah mahasiswa HIMMAH Edisi No. 1/Thn. XLV/2012
izin copas y..
BalasHapusterima kasih..