Senin, 09 Desember 2013

Dalam Pencarian Keadilan

Dalam Pencarian Keadilan
Judul buku                   : Indonesia X - Files
Penulis                         : dr. Abdul Mun’im Idries, SpF
Penerbit                       : Noura Book
Tebal halaman             : 334 halaman
Tahun terbit                 : 2013

Selama ini ilmu kedokteran forensik sering dipandang sebelah mata karena ia tidak bertujuan kuratif (menyembuhkan). Namun, melalui buku ini, dokter Mun’im membuktikan bahwa ilmu kedokteran forensik tidak kalah jasanya dibandingkan ilmu kedokteran lain yang bertujuan kuratif. Buku ini membongkar fakta-fakta dibalik kasus-kasus kriminal dan kejahatan besar di negeri ini. Beberapa diantaranya adalah pembunuhan Munir sang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), tragedi Mei 1998, kasus kematian aktivis buruh Marsinah, hingga pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret nama mantan ketua Komis Pemberantasan Korupis (KPK), Antasari Azhar.
Tidak semua tulisan dalam buku yang terdiri atas enam bab ini mengungkapkan fakta-fakta dibalik sebuah kasus kejahatan. Ada tulisan-tulisan yang sifatnya sekadar memberi informasi mengenai apa yang harus dilakukan supaya suatu kasus kejahatan dapat terungkap. Juga ada tulisan-tulisan yang hanya menerangkan bagaimana cara kerja ilmu kedokteran forensik dalam penegakan hukum dan keadilan (Bab 5 : Kedokteran Forensik Sebagai “Pisau Ilmiah”). Sebagian besar tulisan dalam buku ini ditulis oleh dokter Mun’im. Ada pula tulisan yang memuat ulang tulisan-tulisan yang pernah terbit di media massa.    
Indonesia X - Files menggambarkan seberapa besar keseriusan (atau ketidakseriusan?) pemerintah dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan, terutama kasus pelanggaran HAM. Berikut beberapa fakta dibalik kasus-kasus kejahatan besar yang saya kutip dari buku ini. Beberapa diantaranya belum pernah saya temukan di media massa manapun.
1.      Tragedi Trisakti, Mei 1998
Menurut saya, tulisan ini sangat menarik karena deskripsinya yang detail. Keterlibatan langsung dokter Mun’im dalam kasus ini membuat ia mampu memberikan deskripsi dengan detail yang baik. Ia adalah dokter yang memeriksa jenzah-jenazah mahasiswa Trisakti yang jadi korban penembakan.
Malam itu, dalam perjalanan pulang seusai praktek, dokter Mun’im mendapat telepon dari Idham Aziz (Kasat Serese Polres Metro Jakarta Barat saat itu). Aziz memintanya melakukan pemeriksaan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang tewas akibat penembakan di Trisakti. Ada empat jenazah korban di RS Sumber Waras.
Dokter Mun’im memeriksa empat jenazah mahasiswa Trisakti selama sekitar sembilan puluh menit. Masing-masing korban mendapat luka tembak di area yang mematikan, bukan di area yang hanya akan melumpuhkan korban. Ini dapat dilihat dari lokasi luka tembak yang mengenai bagian mematikan tubuh seperti di daerah dahi dan tembus ke daerah belakang kepala, di daerah leher, di daerah punggung dan ada yang di daerah dada.
Dokter Mun’im juga menceritakan bagaimana Surat Permintaan Visum et Repertum (SPVR) yang tidak lazim. Dokter Mun’im dikirimi SPVR sejumlah enam surat, padahal korbannya hanya empat, dan yang lebih aneh lagi, tidak ada identitas dari para korban. Hanya tertera tanda tangan penyidik. Seharusnya pada formulir SPVR tercantum keterangan mengenai identitas korban, bukan “blangko kosong yang ditandatangani penyidik”. Ia lalu menghubungi pihak Polres Jakarta Barat untuk meminta penjelasan.
Petugas Polres Jakarta Barat yang dihubungi meminta maaf pada dokter Mun’im karena pihaknya tidak tahu berapa korban yang tewas dan juga tidak tahu nama para korban. Mereka juga meminta dokter Mun’im mengisi sendiri formulir SPVR tersebut. Dalam tulisannya, dokter Mun’im mengaku bahwa ini adalah pengalaman yang sangat unik selama berkarir di bidang ilmu kedokteran forensik. Situasi genting di Jakarta membuat beberapa hal tidak berjalan sesuai kelaziman.
Setelah dokter Mun’im selesai, Hamami Nata, Kapolda Metro Jaya saat itu, ingin bertemu dengan dokter Mun’im. Dokter Mun’im lalu diantar ke Polda. Percakapan dokter Mun’im dan Hamami Nata mengindikasikan ada pihak lain yang “bermain” dibalik penembakan para mahasiswa. Berikut kutipan kata-kata Hamami Nata :
               Pak Hamami Nata tampak termangu-mangu, pandangannya menerawang dan dengan nada kecewa beliau berkata perlahan dan sesekali mata beliau memperhatikan bagian mantel atau jaket dari proyektil yang berwarna kuning tembaga.
               “Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?”
               Beliau tidak hanya sekali saja mengatakan hal tersebut, tetapi berulang kali… Bukan baru pertama kali saya berjumpa dengan beliau, jadi sedikit banyak saya mengetahui siapa beliau. “Wah, si Bos digado nih,” saya berkata dalam hati setelah perjumpaan yang baru saja usai. Digado dalam bahasa betawi berarti sama dengan dikerjain. 
2.      Menjadi Saksi Ahli dan Kejanggalan-Kejanggalan pada Kasus Marsinah
Kematian Marsinah, aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS) akibat pembunuhan sadis, menjadi salah satu kasus paling kontroversial yang pernah ditangani dokter Mun’im. Kala itu, Marsinah menjadi ikon gerakan buruh yang berpengaruh luas. Kematian Marsinah dikaitkan dengan adanya konspirasi untuk membendung arus gerakan buruh. Dalam tulisannya, dokter Mun’im menyatakan bahwa ada sebagian analisa yang menduga keras keterlibatan oknum TNI AD yang tidak pernah tersentuh hukum, analisa itu tak pernah muncul ke permukaan.
Berawal dari telepon Trimoelja D. Soerjadi, seorang pengacara di Surabaya yang meminta dokter Mun’im menjadi saksi ahli yang meringankan untuk kliennya, Judi Susanto, pimpinan PT. CPS yang dianggap sebagai “otak” pembunuhan Marsinah. Merasa permintaan tersebut sebagai salah satu tuntutan profesi, dokter Mun’im pun menyanggupi.
Kesediaan dokter Mun’im menjadi saksi ahli yang meringankan menuai kontroversi di antara koleganya sendiri. Waktu itu, rezim Presiden Suharto sedang kuat-kuatnya. Rekan-rekannya mengkhawatirkan keselamatan dokter Mun’im. “Kamu gila, nekat, ngelawan arus, hati-hati nyawa bisa melayang,” kata salah seorang rekannya memperingatkan.
Beberapa hari setelah dokter Mun’im menyanggupi jadi saksi ahli, Trimoelja datang kepadanya dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan, termasuk dua keterangan Visum et Repertum (VR) dari RSUD Nganjuk dan dari Instalasi Kedokteran Kehakiman RS dr. Soetomo.
Ada beberapa kejanggalan dalam dua VR itu. Pada tubuh Marsinah, didapatkan tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan tengah patah seluruhnya, labia minora kiri robek dan terdapat serpihan tulang. Dalam VR pertama, pada bagian kesimpulan disebutkan bahwa korban meninggal dunia akibat perdarahan pada rongga perut. Padahal, menurut dokter Mun’im, keterangan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan dan sebagainya) bukan mekanisme kematian (perdarahan, mati lemas, syok dan sebagainya). Berbeda dengan penyebab kematian, mekanisme kematian tidak dapat memberi petunjuk tentang alat atau benda yang menyebabkan korban tewas.
Kejanggalan juga ditemukan pada VR kedua. Pada bagian kesimpulan disebutkan bahwa : ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai akibat persentuhan dengan benda tumpul dan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan dengan benda tumpul. Kelaziman dalam pembuatan kesimpulan VR, yang dicantumkan adalah jenis kekerasan, bukan jenis bendanya. Jenis kekerasan meliputi kekerasan tajam, kekerasan tumpul dan senjata api.  
Kapak jelas termasuk benda tajam. Tetapi jika seseorang dipukul dengan bagian punggung atau belakang kapak, cedera yang ditemukan memberi gambaran kekerasan tumpul, berbeda dengan cedera yang diakibatkan bagian kapak yang tajam. Bagian tersebut akan menimbulkan luka terbuka akibat kekerasan tajam.
Sedikit penjelasan dari saya, VR terdiri atas lima bagian : projustitia, pendahuluan, pemberitaan, kesimpulan dan penutup. Bagian kesimpulan memuat identitas korban, kelainan pada korban, hubungan sebab akibat dan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan, sebab dan saat kematian korban. Kekuatan atau daya bukti VR terletak pada bagian pemberitaan (bagian pemberitaan meliputi hasil pemeriksaan luar, hasil pemeriksaan dalam dan hasil pemeriksaan penunjang) dan bagian kesimpulan.
Jadi, -saya ulangi penjelasan dari dokter Mun’im- kejanggalan pada VR pertama ialah tidak mencantumkan sebab kematian (yang dicantumkan pada VR pertama adalah mekanisme kematian, bukan sebab kematian). Sedangkan pada VR kedua, kejanggalannya ialah mencantumkan benda penyebab kekerasan, bukan mencantumkan jenis kekerasan.
Dari kedua VR tersebut, tidak dapat diperoleh penjelasan tentang perlukaan atau kelainan yang menyebabkan Marsinah tewas. Hal ini terjadi, menurut hemat dokter Mun’im, karena salah satunya akibat pembuatan VR yang di luar kelaziman.
Maka, jenis kekerasan yang terjadi pada tubuh Marsinah menimbulkan pertanyaan besar. Kekerasan sepert apa yang dapat menimbulkan cedera pada Marsinah, yang dimulai dari luka terbuka di labia minora kiri, tulang kemaluan kiri yang patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan yang patah dan terpisah, serta tulang kelangkang kanan yang patah seluruhnya? Menurut dokter Mun’im, kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Sebagai saksi ahli, dokter Mun’im menyatakan pendapat yang segera menuai kontroversi : akibat luka tembak!
Pada bagian akhir tulisan, dokter Mun’im memaparkan refleksinya ketika menangani kasus Marsinah : Kasus Marsinah menjadi kontroversi dan kesaksian saya dianggap konyol oleh sebagian teman. Secara tidak langsung saya memang seolah mempertaruhkan profesi dan diri saya. Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang. Walau para pelaku sudah ada dan sudah dijatuhi hukuman penjara, namun tetap saja menjadi suatu pertanyaan besar di kepala, ada apa di balik kematian aktivis buruh itu?
3.      Benarkah Munir diracun di Udara?
Munir Said Thalib, namanya mencuat sejak ia menjadi aktivis pembela HAM. Laki-laki kelahiran Malang, 8 Desember 1965 itu berani berdiri di garda terdepan dalam pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Kematiannya pada September 2004 masih menyisakan banyak pertanyaan. Munir meninggal di pesawat Garuda jenis Boeing 747, dalam perjalanan menuju Amsterdam. Munir hendak melanjutkan studi S2 bidang hukum di Universitas Utrecht, Belanda. Munir didapatkan meninggal di atas langit Rumania, hanya sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam.  
Dalam tulisannya tentang kematian Munir, dokter Mun’im mengungkapkan banyak fakta yang tidak pernah diberitakan oleh media. Bahkan Dokter Mun’im berpendapat bahwa cerita kematian Munir ialah cerita dengan lakon yang belum tuntas, tetapi “dipaksakan” untuk tuntas.
Dokter Mun’im menerima telepon dari Mabes Polri 3 jam setelah Munir dinyatakan meninggal. Ia diminta bersiap mengotopsi jenazah Munir saat jenazahnya tiba di Jakarta. Dokter Mun’im menyanggupi permintaan tersebut. Namun, Suciwati -istri Munir- menolak jenazah suaminya diotopsi ulang. Sebelumnya, jenazah Munir sudah diotopsi di Belanda. Hasil otopsi menyatakan terdapat timbunan Arsenik yang melebihi ambang batas. Munir meninggal karena keracunan Arsenik.
Dokter Mun’im menilai pelaku pembunuhan Munir sangat pintar. Sebab, kasus keracunan Arsenik sangat langka. Jumlahnya tidak sampai 10%. Selain itu, Arsenik termasuk ideal untuk membunuh (ideal poisioning). Arsenik punya sifat tidak memiliki rasa, warna dan bau.
Menurut dokter Mun’im ada beberapa kejanggalan dalam kematian Munir. Salah satunya terlihat dari penjelasan tim khusus yang diberangkatkan ke Belanda untuk menyelidiki kematian Munir. Laporan tim menyatakan racun Arsenik dimasukan ke dalam minuman jus yang dipesan Munir di pesawat. Menurut dokter Mun’im, hal itu sangat tidak mungkin, sebab Arsenik mudah larut di air panas atau hangat, bukan di air dingin. Jika dimasukan ke minuman dingin, Arsenik akan mengendap. Kemungkinan tempat dimana Munir mendapatkan minuman hangat yang seharusnya dicurigai sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Berdasarkan hal-hal tersebut, dokter Mun’im menyimpulkan lokasinya ialah di Café Bean, Bandara Changi, Singapura. Ada beberapa pelajar yang melihat Munir mampir di Café Bean bersama Pollycarpus.  
Selain itu, berdasarkan skenario tim tersebut, disebutkan bahwa sifat kerja Arsenik (on set of action) adalah sembilan puluh menit. Dokter Mun’im punya analisis yang berbeda dari tim. Menurut analisisnya, dalam waktu tiga puluh menit Arsenik sudah menimbulkan gejala keracunan.
Dokter Mun’im juga menilai tim pencari fakta yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak serius menangani kasus Munir. Indikasinya, di kepolisian ada spesialisasi tugas, misalnya untuk menangani kasus narkoba, kasus korupsi dan sebagainya, akan ditangani oleh pejabat-pejabat yang relevan dengan maslah tersebut. Berdasarkan pertemuan pertama tim pencari fakta yang dipimpin oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dokter Mun’im segera memberikan penilaian bahwa tim ditangani oleh pejabat yang tidak nyambung. Hemat kata, tim itu tidak serius.
Ada cerita yang sangat menarik dari tulisan dokter Mun’im tentang kematian Munir. Suatu hari ia menerima telepon dari Kabareskrim Mabes Polri yang saat itu dijabat oleh Bambang Hendarso. Danuri meminta dokter Mun’im menyampaikan analisnya perihal kematian Munir, supaya pelaku pembunuhan dapat ditemukan. Ia berbicara singkat, “Dokter, ini untuk Merah Putih”. Dengan heran, dokter Mun’im menanyakan apa maksudnya untuk Merah Putih. Danuri menrangkan, “Kalau kita tidak bisa masukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak akan cair. Karena dia (Munir) tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok.”
Pada akhirnya, nama Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi penutup yang tidak memusakan dalam kasus Munir. Pertanyaan-pertanyaan dokter Muni’im di bagian akhir tulisan terasa sangat mengusik, sebab pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah menemui jawabannya hingga kini : “Punya urusan apa Pollycarpus menghabisi Munir? Kalau memang dia ‘ditugaskan’, siapa yang menugaskannya?”
***
Tahun-tahun telah berganti, banyak hal telah terjadi. Namun, aksi Kamisan1 masih terus berlangsung, pabrik tempat Marsinah pernah bekerja telah tenggelam oleh luapan Lumpur Lapindo2, juga presiden Yudhoyono yang belum berhasil menepati janji tuntaskan kasus Munir hingga menjelang akhir pemerintahannya. Korban-korban pelanggaran HAM masih menemui jalan buntu dalam pencariannya menemukan keadilan. Keseriusan pemerintah jadi poin penting bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Buku ini menjadi pencerah untuk menilai kadar keseriusan pemerintah kita dalam penegakan HAM.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan dalam buku ini, seperti tidak ada penjelasan rinci tentang istilah-istilah kedokteran yang digunakan (yang berpotensi menimbulkan kebingungan bagi orang-orang yang tidak berkecimpung di dunia medis), Indonesia X - Files berhasil menjadi suara bagi mereka yang tidak lagi bisa bersuara!






1 Aksi Kamisan adalah aksi yang digelar di depan Istana Negara oleh keluarga korban pelanggaran HAM dan aktivis-aktivis pembela HAM. Tulisan mengenai Kamisan dapat dilihat di : http://indoprogress.com/kamisan/
2 Bangunan PT Catur Putra Surya tempat Marsinah pernah bekerja telah tenggelam akibat semburan Lumpur Lapindo yang dimulai pada 29 Mei 2006 . Lihat keterangan dari Andreas Harsono tentang tenggelamnya bangunan pabrik yang tenggelam oleh Lumpur Lapindo di : http://www.andreasharsono.net/2008/12/lumpur-lapindo-di-sidoarjo.html

Minggu, 07 April 2013

Mawar dan Edelweiss

Untuk A


Awalnya kelopak Mawar itu berwarna putih. Wangi Mawar selalu menyelimuti. Waktu terus membawanya berlari hingga kelopak putih itu mengering dan berubah warna. Waktu memang terus pergi berlari, tapi waktu selalu meninggalkan penanda. Hari dimana kamu memberi Mawar putih itu menjadi penanda yang ditinggalkan jejak waktu. Duapuluh lima Oktober, tahun duaribu sepuluh. Hari ulang tahunku yang ke duapuluh satu.


Aku menyipman Mawar di buku harianku. Dulu aku punya sebuah buku kosong yang dengan cepat terisi oleh segala macam coret-coret. Di buku itu banyak sekali cerita dan tumpahan perasaan yang berserakan. Itu adalah masa dimana aku belajar membesarkan hati menjadi sebuah tempat yang cukup lapang menerima hidup. Sebuah masa dimana aku mencari apa yang sebenarnya aku cari. Merasa belum siap dengan hidup orang dewasa yang menjalani berbagai peran secara bersamaan. Masa-masa paling tidak stabil. Dan kamu, sudah ada saat itu…

Pada waktu yang lain, pada sebuah makan malam, kamu memberiku bunga Edelweiss. Kamu bilang itu Edelweiss yang tumbuh di Gunung Lawu. Kamu mengambil Edelweiss yang sudah jatuh di tanah, kamu tidak memetiknya.


Edelweiss bunga yang manis. Tangkainya pun halus, tidak berduri. Seolah Edelweiss tidak didesain untuk menyakiti siapapun yang menyentuhnya. Mungkin Tuhan sedang menunjukkan sisi lembut hatiNya ketika menciptakan Edelweiss. Tapi Edelweiss menuntut perjuangan besar untuk sekadar bisa melihatnya. Aku sendiri belum pernah melihat Edelweiss secara langsung. Ada gunung yang harus ditaklukan, ada jalan terjal yang harus dilalui. Aku yakin kamu menempuh perjalanan yang melelahkan ketika bertemu dengan Edelweiss yang tergeletak di tanah, Edelweiss yang sekarang ada di tanganku…

Waktu juga mengajak Edelweiss itu berlari. Tapi edelseiss tidak pernah berubah. Bentuk dan warnanya masih sama. Mungkin itulah yang menjadikan Edelweiss sebagai simbol sesuatu yang abadi...

Banyak tahun yang sudah berganti sejak kita tidak mengenakan seragam putih biru. Banyak angka-angka dalam kalender yang sudah dilewati sejak Mawar dan Edelweiss itu ada bersamaku. Setelah tahun-tahun yang rumit, aku sangat bersyukur akhirnya kita bersama-sama lagi. Sungguh, aku tidak mau berpisah lagi dari kamu. Aku mencintaimu dan memilikimu…

Ada sebuah kutipan yang sudah familiar di telinga kita. Kamu pernah mengutipnya untukku, aku pun pernah mengutip untukmu. Aku sering mengucapkannya berulang-ulang seperti sebuah zikir. Karena aku selalu berharap itu terjadi pada kamu : semoga kamu baik-baik di sana, tidak demam dan dicintai orang lain…