Sabtu, 01 September 2012

Pengetahuan-Sesat-dan-Masih-Diterapkan (Bagian 1)



Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis yang semacam tulisan ini. Karena bagaimanapun juga, penulis di blog ini adalah mahasiswa kedokteran, bukan mahasiswa Fisipol atau mahasiswa sastra. Minat saya memang terlalu random. Hihi…

Sudah lama saya ingin menulis tentang penyakit, fisiologi tubuh manusia dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan, bukan cuma soal kebijakan pembangunan kesehatan (saya paling banyak menulis soal ini). Tapi saya tidak ingin tulisan yang hanya memindahkan isi text book kedokteran, yang hanya bisa dimengerti orang-orang yang berkecimpung di dunia kesehatan. Saya ingin tulisan yang siapapun dapat memahaminya. Kurang lebih seperti tulisan-tulisan dokter Oz, dokter yang kerap tampil di acara Oprah Winfrey Show.

Tapi masalah utamanya adalah waktu. Kesibukan sebagai “dek koas” di rumah sakit sering tidak berpihak pada aktivitas menulis.

Oke, tadi hanya intermezzo tidak penting. Tulisan ini semacam fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan. Cukup banyak saya menemui hal-hal semacam ini. Dan saya akan mencoba sedikit meluruskan yang melenceng . tulisan ini merupakan bagian pertama. Harapannya, kelak saya tetap bisa konsisten menulis tentang hal lain.

  1. Menghentikan Perdarahan dengan Cara yang Benar
Ini berawal dari ketika saya jaga IGD pada hari Minggu yang tidak libur. Ada pasien datang, laki-laki, umur sekitar 20an, ia datang dengan keluhan luka sayat (Vulnus Scissum/VS) di jari-jari kaki. VS itu disebabkan oleh cutter yang ia pakai ketika bekerja. Panjang VSnya sekitar 3-5cm, dalam sekitar 0.3cm. VS tersebut perlu dijahit supaya penyembuhannya lebih cepat dan lebih baik.

Saya terkejut ketika pasien tersebut bercerita dia menyiramkan tiner untuk mengehentikan perdarahan yang keluar dari VS. Apa yang dilakukan benar-benar tidak tepat. Justru tiner itu bisa menyebabkan lukanya terkontaminasi oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam tiner. Dan saya yakin pasti perih sekali ketika luka itu terkena tiner. Inilah hal pertama yang akan saya bahas dalam fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan , tentang pertolongan pertama pada luka, sebelum di bawa ke rumah sakit.

Jika bicara tentang luka, hal pertama yang penting untuk diperhatikan adalah menilai luka tersebut. Umumnya luka dinilai dari dua hal ; dimensi (panjang, lebar dan kedalamannya) dan apakah termasuk luka bersih atau kotor.

Kita bicarakan cara pertolongan pertama menghentikan perdarahan yang tidak menggunakan obat-obatan. Caranya sederhana saja. Tekan daerah yang luka dengan kassa (jangan gunakan kapas atau tissue karena keduanya mudah menempel di luka dan sulit dibersihkan). Jika lukanya lebar, tekan daerah yang luka dengan kain bersih.

Tekanan tersebut akan membuat pembuluh darah ikut tertekan. Bayangkan saja pembuluh darah di tubuh manusia itu serupa selang air. Ketika selang itu ditekan, air tidak akan bisa mengalir keluar lewat selang, bukan? Tekanan pada pembuluh darah itu juga mengaktivasi agen-agen pembekuan darah untuk menyumpal lokasi yang berdarah.

Pada luka yang berdimensi kecil, cara tersebut bisa cepat menghentikan darah yang keluar. Tapi cara ini memang tidak langsung membuat perdarahan berhenti pada luka yang dimensinya lebih besar. Luka berdimensi besar perlu mendapat pertolongan lebih lanjut di puskesmas atau rumah sakit. Tapi setidaknya, dengan cara  tadi darah yang hilang bisa diminimalisir. Tentunya diminimalisir dengan cara yang tidak mengkontaminasi luka.

  1. Teh Pahit dan Diare
Hal kedua dari fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan adalah teh pahit dan diare. Sepertinya sudah bukan hal yang asing ketika Anda diare dan ada orang yang menyarankan untuk minum teh pahit. Teh pahit dianggap bisa menghentikan diare.

Sebenarnya soal teh pahit itu tidak seratus persen salah, hanya kurang tepat. Teh pahit tidak menghentikan diare.

Diare adalah buang air besar dengan tinja cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari. Diare bisa menimbulkan kegawatan ketika terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan ketidakseimbangan elektrolit. Cairan dan elektrolit ikut terbuang bersama tinja cair tersebut. 

Apa sih elektrolit itu? Elektrolit adalah ion positif dan negatif dalam cairan tubuh. Keseimbangan elektrolit perlu dijaga supaya sel-sel dan organ-organ tubuh dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Penggantian cairan (rehidrasi) dan penggantian elektrolit amat penting dalam penanganan diare.  Jika penderita diare masih bisa minum (tidak muntah ketika minum), maka ia harus minum sampai kehilangan cairannya teratasi. Karena elektrolit juga hilang akibat diare, minuman yang diminum juga harus yang mengandung elektrolit.

Teh pahit sudah tentu tidak mengandung elektrolit, karena pada dasarnya kandungan teh pahit tidak jauh berbeda dengan air putih biasa. Jadi ia hanya merehidrasi tapi tidak menggantikan elektrolit yang hilang. Lebih baik minum minuman yang mengandung elektrolit seperti teh manis, oralit dan sebagainya.

Teh manis merupakan minuman yang dapat merehidrasi sekaligus mengganti kehilangan elektrolit. Gula yang larut dalam teh membuat teh tersebut jadi mempunyai kandungan elektrolit, karena gula pasir yang larut dalam teh mengandung elektrolit.

Oralit juga minuman yang dapat merehidrasi sekaligus mengganti kehilangan elektrolit. Oralit dapat dibuat sendiri di rumah. Pembuatannya pun cukup sederhana. Campurkan satu sendok teh garam dan delapan sendok teh gula dalam satu liter air. Satu liter air kurang lebih setara dengan lima gelas ukuran biasa.

Sekian. Semoga bisa dipahami dan semoga bermanfaat :)   

  

Kamis, 09 Agustus 2012

Mufsidûn


Mufsidûn

Mufsidûn ialah kata dalam bahasa Arab. Kata itu dapat dimaknai sebagai koruptor-koruptor kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan korupsi bukan pemandangan baru lagi bagi bangsa ini. Berita tentang pejabat-pejabat yang terjerat kasus korupsi marak menghiasi media massa. Lebih ironis lagi, hukum di negara ini benar-benar serupa panggung sandiwara. Mufsidûn tidak menerima hukuman yang semestinya. Banyak koruptor yang cepat bebas dari penjara karena ringannya vonis yang diberikan. Apalagi, tidak jarang mereka mendapat remisi.
Tak perlu dipungkiri lagi bahwa Islam menentang segala bentuk ketidakjujuran, termasuk korupsi. Kisah tentang Khalifah Umar yang mematikan lampu minyak ketika berbincang dengan anaknya adalah contoh nyata pemimpin yang menjaga diri dari tindakan korupsi. Umar sengaja mematikan lampu minyak di ruang kerjanya karena minyak dalam lampu dibeli dengan uang rakyat, sementara urusan dengan putranya bukanlah urusan negara. Walaupun Umar punya kuasa untuk menggunakan fasilitas-fasilitas sebagai khalifah, Umar tak ingin menyalahgunakan kekuasaannya. Umar tidak mau korupsi, sekalipun hanya korupsi kecil macam minyak di dalam lampu.
Ada teladan lain yang “lebih dekat” tentang bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Contoh teladan itu bernama Polisi Hoegeng. Hoegeng pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI (kini Kapolri) pada 1968-1971. Ketika Hoegeng baru saja pindah ke rumah dinasnya yang baru, Hoegeng sudah mendapatkan kiriman barang-barang mewah dari para cukong. Cukong-cukong itu hendak menyuap Hoegeng. Namun, dengan tegas Hoegeng menolak semuanya. Sama seperti Umar, Hoegeng tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Sikap Hoegeng itu amat istimewa di mata mendiang Gus Dur. Sampai-sampai Gus Dur pernah berseloroh soal tiga polisi jujur. Kata Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Polisi Hoegeng.
Cerita tentang Khalifah Umar dan Polisi Hoegeng memang “hanya” sebuah kisah. Namun, kisah itu sejalan dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang yang dipimpinnya.” Umar dan Hoegeng adalah realitas yang perlu dimaknai lebih mendalam.
Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam. Begitu bunyi pernyataan Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada cum intelektual muslim. Dalam buku Islam Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo memaparkan tentang perlunya pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam akan membuat orang Islam melihat realitas melalui Islam.
Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam karena -menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan- realitas itu tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Tetapi realitas dilihat melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada manusia. Misalnya di daerah Kejawen (dulu), orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Roro Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawi (raja adalah keturunan para nabi dan para dewa), tata cara sembah, warna paying, dan sebagainya.  
Karena manusia tak dapat melihat realitas secara langsung, pengilmuan Islam menjadi amat diperlukan. Dalam pengilmuan Islam, Islam sebagai teks (Al-Quran dan As-Sunnah) dihadapkan kepada realitas (baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah). Dari teks ke konteks.
Hadis Rasulullah (teks) di atas sangat tepat dihadapkan pada realitas Umar dan Hoegeng (konteks). Ajaran Islam adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Umar dan Hoegeng telah berhasil menentukan sikap berdasarkan salah satu nila universal dalam Islam.
Namun, nilai universal Islam tersebut belum menyentuh bangsa ini. Sebaliknya, korupsi merajalela dimana-mana. Apalagi sejak hubungan sentralistik pusat-daerah coba diredam lewat penerapan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah lahir pasca tumbangnya Soeharto, sang penguasa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba yang sarat dominasi militer, dengan otoritarianismenya, telah menciptakan sentralisasi kekuasaan. Pemerintah pusat adalah segala-galanya. Wewenang pemerintah daerah amat terbatas untuk menentukan kebijakannya sendiri, untuk menetapkan kebijakan yang ia anggap paling baik bagi daerahnya. Setelah Orba runtuh, sentralisasi kekuasaan tersebut coba direduksi dengan kebijakan Otonomi Daerah.   
Sayang, lahirnya Otonomi Daerah ikut melahrikan banyak Mufsidûn. Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi di pusat, pasca Otonomi, korupsi ikut tumbuh subur di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat.  
Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat berita seputar korupsi di daerah. Rubrik Politik majalah itu memberitakan korupsi yang dilakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Merujuk dari Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur dan 540 kabupaten dan kota.
Sudah pasti, banyaknya Mufsidûn berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat. Penguasa yang memanfaatkan kuasanya untuk korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada petani yang sejahtera ketika subsidi pengadaan benih dikorupsi. Gedung sekolah yang bobrok tidak mungkin diperbaiki ketika dana perbaikannya masuk ke kantong para koruptor. Kualitas pendidikan makin terpuruk sebab dana pengadaan buku dikorupsi oleh bupati. Pengusaha kecil sulit maju ketika bantuan modal yang sampai ke tangan mereka telah disunat. Buruh menderita Pneumonia sampai mati akibat tidak mampu berobat, karena jaminan kesehatan yang menjadi haknya tak kunjung ia dapatkan.
Kalau sudah begini, kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis. Selalu, selalu dan selalu rakyat yang jadi korban. Mufsidûn dan korupsinya ialah potret buram dari bahaya politik Otonomi Daerah!     

* Pertama kali dimuat dalam editorial majalah mahasiswa HIMMAH Edisi No. 1/Thn. XLV/2012

Minggu, 24 Juni 2012

Enam Tahun Melawan dalam Cemas


Enam Tahun Melawan dalam Cemas

(Prolog : ini semacam penelitian kualitatif yang sangat kecil-kecilan tentang kecemasan warga pesisir Kulon Progo terhadap rencana penambangan pasir besi. Tulisan ini merupakan salah satu tugas untuk Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat, kami dibebaskan mengambil tema papun yang berhubungan dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saya punya alasan yang sangat subyektif ketika memilih tema tentang kecemasan masyarakat pesisir Kulon Progo, saya ingin isu tambang besi Kulon Progo ini mendapat perhatin dari banyak pihak. Alasan pertama, saya berasal dari keluarga keluarga petani, ini semacam "solidaritas". Semenjak papa pensiun dari pekerjaannya, hasil pertanian menjadi salah satu yang kami andalkan sebagai pendapatan keluarga. Anggaplah saya bisa mengerti betapa berartinya tanah bagi petani. Alasan kedua, saya ingin tahu bagaimana kondisi kejiwaan orang-orang yang hidup di wilayah yang potensi konfliknya begitu besar seperti pesisir Kulon Progo saat ini. Saya akui ini bukan hasil penelitian cum tulisan yang baik, analisa dan pembahasannya masih sangat dangkal. Hanya satu minggu waktu yang diberikan untuk mengerjakan penelitian ini, mulai dari perizinan sampai penulisan laporan. Itu memang apologi saya, tapi saya tetap mengakui ini bukan tulisan yang baik dan tidak meminta pemakluman. Sebab penulis yang baik pasti bisa menhghasilkan tulisan yang baik, bagaimanapun kondisinya. Dan saya belum tergolong penulis yang baik. Dalam publikasi di blog ini, semua nama narasumber saya samarkan. Saya berkata tulisan ini untuk keperluan tugas dari kampus ketika menemui para narasumebr, saya tidak mengatakan untuk dipublikasikan. Sekalipun ini cuma publikasi di blog pribadi, dengan alsan etika, saya menyamarkan semua nama narasumber.) 

Proses perizinan penambangan pasir besi di Kulon Progo terus berlangsung. Warga yang menolak pun tetap melawan. Dalam perlawanan mereka merasakan kecemasan. Dan semua itu sudah berlangsung selama enam tahun...

Sudah sekitar enam tahun Kulon Progo bergejolak akibat rencana penambangan pasir besi. Kulon Progo ialah satu dari empat kabupaten di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Kabupaten ini memiliki luas wilayah 58.627,5 Ha. Kulon Progo memiliki sebelas kecamatan dengan beragam potensi, mulai dari pariwisata, pertanian peternakan, hingga perikanan. Beberapa tahun lalu, ditemukan potensi pertambangan karena kandungan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Rencana penambangan pasir besi inilah yang memicu pergolakan, sebab warga pesisir menolak rencana penambangan itu.
 Februari 2006, Australia Kimberly Diamond (AKD) dan Jogja Magasa Mining (JMM) melakukan eksplorasi pasir besi di seribu lokasi.  Pada 2008, seiring setelah AKD merubah namanya menjadi Indo Mines Ltd pada 2006, dan bikin perusahaan patungan bersama JMM dengan nama Jogja Mgasa Iron (JMI), Kontrak Karya antara JMI dan Pemerintah Indonesia diteken. Jogja Magasa Mining adalah perusahaan lokal yang menjadikan GKR Pembayun, putri tertua Sultan Hamengku Buwono (HB) X, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Penambangan akan dilakukan di lahan pesisir seluas 22 km x 1,8 km. Lahan seluas itu merupakan wilayah tambang PT. JMI. Penambangan akan dilakukan di tanah pesisir yang terdiri dari : tanah warga, Tanah Pakualaman (Tanah PA), tanah merah (tanah yang digunakan untuk bertani tetapi tidak jelas kepemilikannya) dan wedi kengser (tanah yang dulunya laut).  
Sengketa tanah amat rentan terjadi pada proyek penambangan ini. Warga menolak tanahnya ditambang oleh PT. JMI. Belum lagi status kepemilikan tanah merah yang rancu. Tanah merah dinyatakan sebagai tanah negara oleh petani, tapi juga diklaim sebagai Tanah Magersari oleh Pakualaman. Tanah Magersari adalah tanah yang tak berlandaskan sertifikat, melainkan surat kekancingan dari pihak kraton yang menunjukkan bahwa tanah warga tersebut adalah Tanah Sultan atau Tanah Pakualaman. Tanah merah kenyataannya memang tak bersertifikat, tapi lahan yang tak diurus negara itu juga tak bersurat kekancingan.
Masyarakat pesisir dengan tegas menolak rencana penambangan. Masyarakat pesisir Kulon Progo mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Penambangan itu bisa menggusur tempat tinggal mereka, juga menggusur lahan pantai yang selama ini mereka tanami. Mereka pun mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai wadah penolakan mereka terhadap  rencana penambangan.
1 April 2006, PPLP resmi berdiri. Sudah enam tahun ini mereka terus melawan. Mereka konsisten menolak rencana penambangan. Perlawanan mereka menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal berarti mereka berhadapan dengan perusahaan tambang, pemilik modal asing, kraton dan negara. Konflik horizontal terjadi antar warga yang menolak penambangan dengan warga yang pro penambangan.
Ditengah-tengah sengketa lahan dan potensi konflik yang luar biasa, PPLP juga pernah mengalami teror, intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kecemasan pun dirasakan warga peisisir, khususnya pengurus PPLP. Selain kecemasan akan kehilangan lahan, pengurus PPLP punya tanggung jawab mengatur massa PPLP yang berjumlah puluhan ribu. Itu menjadi “kecemasan tambahan” bagi mereka.

***
Siang itu (Senin, 2 April 2012) saya berdiskusi dengan K dan F, mereka berdua pegiat di Solidaritas Tolak Tambang Besi (STTB). Kami mengobrol di teras rumah kontrakan milik George Yunus Aditjondro, ilmuwan sosial yang sempat menggegerkan dengan bukunya, Membongkar Gurita Cikeas. George mengontrak sebuah rumah di daerah Mrican, dekat Kampus II Universitas Sanata Dharma. George tidak tinggal di sini. Rumah itu hanya digunakan untuk menyimpan buku-buku milik George yang jumlahnya luar biasa banyak. Para pegiat STTB sering memanfaatkan rumah ini sebagai tempat berkumpul.
STTB kerap mendampingi petani-petani Kulon Progo terkait permasalahan tambang pasir besi. K mengatakan, rencana penambangan itu membuat warga menjadi amat waspada kepada orang luar, tidak terkecuali peneliti yang hendak bikin penelitian di sana. Warga takut penelitian atau apapun yang dilakukan orang luar akan digunakan untuk memuluskan rencana penambangan. Kekhawatiran warga amat beralasan. Penambangan itu bisa menggusur tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini.
“Coba kamu masuk ke sana lewat Pak Kr saja. Beliau orangnya terbuka,” kata K. Pak Kr adalah salah satu pengurus PPLP yang tinggal di Desa Bugel. Pak Kr juga pernah membantu K ketika dia melakukan riset di Kulon Progo untuk kepentingan tesisnya.
F memberikan nomor telepon genggam Pak Kr kepada saya. Saat itu juga saya menghubungi Pak Kr. “Bilang kalau kamu temannya K,” kata K menyarankan. Strategi itu berhasil. Pak Kr bersedia menemui saya.   
Ketika sore menjelang, kami terpaksa menyudahi diskusi tentang penambangan pasir. K dan F harus menjemput teman mereka -sesama pegiat STTB- di terminal. Saya pun berpamitan pada mereka berdua. Sebelum pergi, K mengingatkan saya untuk berhati-hati. Jangan masuk lewat “pintu” yang salah.
Saya bersyukur cuaca hari Selasa 3 April 2012 amat bersahabat. Langit cerah, tidak ada awan mendung yang bergantung. Cerahnya hari membuat saya merasa nyaman menempuh perjalanan menuju pesisir Kulon Progo. Dari tempat tinggal saya di Jalan Kaliurang Km 14,5, perjalanan itu memakan waktu satu jam lebih. F bersedia menemani saya ke Kulon Progo.
Sempat mengalami insiden ban motor yang bocor, sekitar jam 14.00 WIB saya sampai di rumah Pak Kr. Pak Kr sudah menunggu kedatangan saya. Kami berbincang di teras rumahnya, duduk di kursi bambu.
Pak Kr lelaki paruh baya berwajah ramah. Rambutnya sudah memutih di beberapa tempat. Saat itu ia mengenakan kemeja batik. Pak Kr mulai bercerita tentang latar belakang masyarakat pesisir. Ia mengatakan, dulu masyarakat pesisir sangat miskin. Lahan pesisir yang merupakan lahan kritis tidak mendatangkan banyak kemakmuran. Lahan kritis hanya bisa ditanami tanaman seperti kentang dan ketela muntul (ubi jalar). Kondisi lahan yang tidak subur membuat masyarakat pesisir banyak yang merantau ke luar daerah. Di sana mereka jadi buruh. Ada juga yang menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri.
Namun, segalanya berubah pada tahun 1985. Ketika itu ada kemajuan teknologi untuk menggarap lahan kritis. Ada penemuan untuk mengatasi itu, yaitu dengan membuat pola penyiraman. Di lahan, sumur-sumur pun mulai dibuat. “Mulanya hanya sumur yang pakai bambu. Tapi itu berkembang terus,” kata Pak Kr.
Sekarang ini pola penyiraman sudah makin berkembang sejak petani mulai menggunakan pompa air. Tanaman di lahan kritis perlu disirami dua kali sehari karena kondisi tanah yang permeabilitasnya tinggi. Permeabilitas tinggi itu membuat air jadi cepat diserap tanpa mengendap.
Sejak penemuan teknologi itu, petani lahan pantai Kulon Progo mulai merasakan kemakmuran. Lahan pantai bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Mulai dari cabai, melon, semangka, terong, tomat, dan lain-lain. Warga pun tidak lagi menjadi buruh di luar daerah. Mereka pulang kampung dan menggarap lahan pantai. Lahan pantai sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup.
“Nah itu. Tetapi tiba-tiba setelah kita merasakan kenikmatan hidup dari hasil pertanian, tiba-tiba pemerintah mau menggusur, mau menambang lahan yg kami kelola.”
Saya dapat melihat dengan jelas kemakmuran yang dikatakan Pak Kr. Sepanjang perjalanan ke Desa Bugel, saya melihat rumah-rumah yang sudah permanen, walaupun masih ada sebagian kecil yang berdinding bata. Jumlah rumah yang berdinding anyaman bambu dapat dihitung dengan jari. Ini pemandangan yang kontras dengan desa tempat saya menjalani pendidikan klinik stase Ilmu Kesehatan Masyarakat di Desa Jono, Kecamatan Tanon, Sragen. Di Jono banyak rumah yang masih berdinding anyaman bambu atau kayu. Lantainya juga masih tanah. Padahal Desa Jono dan Desa Bugel sama-sama desa agraris. Saya berani mengatakan warga Bugel jauh lebih makmur daripada Jono.
Kendaraan roda dua pun menjadi alat transportasi yang lumrah dimiliki masyarakat pesisir. Sepanjang perjalanan, saya banyak menjumpai petani pergi ke lahan dengan sepeda motor. Pak Kr sendiri memiliki lebih dari satu sepeda motor.
Pertanian tidak hanya mendatangkan kemakmuran. Penyakit mata yang dulu sering menyerang warga pun lenyap. Apa pasal? Ternyata di sini penyakit mata amat berkaitan dengan lahan yang terbuka, banyak debu yang terhembus angin. Terutama ketika musim kemarau datang, angin bertiup sangat kencang. Setelah lahan bisa ditanami, debu-debu pun tidak banyak lagi yang berterbangan.  
“Dulu kalau setiap musim kemarau pasti ada penyakit mata. Tapi sekarang ini sudah nggak muncul lagi penyakit mata. Ya kadang-kadang ada yang kena belekan itu, tapi kan tidak semuanya kena, mungkin cuma satu-dua,“ ujar Pak Kr, “Lha… dulu hampir semuanya kena penyakit mata. Luar biasa penyakit mata itu. Sampai kalau pagi itu mau membuka kelopak mata saja sulit. Blobok itu keluar, sampai lengket dan mengunci kelopak mata. Itu saya mengalami waktu masih kecil. Dan itu dirasakan oleh hampir semua orang.”
Pak kr mengatakan, warga di sini juga cemas potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat penambangan. Mereka juga khawatir gumuk-gumuk (bukit-bukit) pasir akan hilang akibat penambangan. Gumuk pasir itu terbentuk secara alami akibat pasir yang terbawa tiupan angin. Warga percaya gumuk pasir bisa menahan gelombang jika terjadi tsunami. “(Beberapa tahun  lalu) waktu tsunami di pangandaran itu, gelombang air laut di sini kan juga naik. Tapi itu tidak terlalu membahayakan karena masih ada gumuk-gumuk pasir. Di sana (Pangandaran) katanya sudah merata gitu…”
Pak Kr mengaku mengalami kecemasan selama enam tahun ini, sejak rencana penambangan pasir besi santer berdengung. Sering ia merasa sakit perut ketika pikirannya merasa tidak tenang. “Itu yang sering saya alami. Kalau pikiran tidak tenang, akhirnya perut yang terasa”.
 Kecemasan yang dialami Pak Kr bukan hanya karena cemas kehilangan tanah akibat penambangan. Sebagai pengurus PPLP, ia sering merasa cemas ketika “tensi” masyarakat meninggi. “Saya sempat nggak bisa tidur… Saya berusaha supaya masyarakat tensinya tidak terlalu tinggi, supaya kecurigaan masyarakat juga tidak terlalu tinggi pada orang luar. Pada mobil berplat merah terutama. “
“Dulu pernah ada orang-orang bermobil yang memotret-motret di lahan. Akhirnya mobil itu dirusak oleh massa. Saya merasa cemas juga, sempat tidak bisa tidur. Karena sebagai orang yang dituakan, tanggung jawabnya berat,” ujar Pak Kr.
Pak Kr memberi arahan pada saya untuk bertemu Bu S, atau yang biasa disapa Bu Tj. Bu S memang istri Pak Tj. Pak Tj adalah petani yang dikriminalkan karena menolak penambangan. Pak Tj terkenal berani dan vokal. Menurut buku Catatan Akhir Tahun 2010 Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dulu Pak Tukijo sering menerima teror melalui pesan singkat di ponselnya.
Pada 1 Mei 2011, Pak Tj ditahan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenagkan. Pak Kr menilai ada yang ganjil dari kasus Pak Tj. “Hakim memvonis tiga tahun. Padahal tuntutan jaksa hanya dua tahun. Padahal kan kasus Pak Tj hanya perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak tahu ini kok sampai 3 tahun. Sedangkan yang berbuat anarkis di Cikeusik itu (terhadap Jemaat Ahmadiyah) vonisnya hanya beberapa bulan. Padahal di sana sampai ada yang meninggal, tapi vonisnya hanya 4 bulan, 6 bulan,” ujar Pak Kr.
“Kalau yang lain kan kecemasannya ya kecemasan-kecemasan yang juga dirasakan oleh semua (kecemasan akibat penambangan). Kecemasan keluarga Pak Tj lain. Karena (kecemasan) mereka jelas dikaitkan dengan hukum, to. Orang tidak bersalah kok dihukum. Itu kan jadi luar biasa.” 
Tanpa terasa, kami sudah mengobrol selama lebih dari tiga jam. Saya pun berpamitan pada Pak Kr. Sebelum saya pulang, Pak Kr mengajak saya melihat lahannya. Jarak dari rumah ke lahan hanya sekitar setengah kilometer. Sekarang sedang musim tanam cabai. Lahan Pak Kr juga sedang ditanami cabai. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan hamparan lahan pasir yang terbentang luas. Lahan-lahan itu tampak menghijau akibat pohon-pohon cabai yang sedang tumbuh.
Saya takjub melihat pohon-pohon cabai yang tumbuh subur di tanah pasir. Ini pertama kalinya saya menyaksikan cabai yang ditanam di lahan pasir.
Sebelum menanam cabai, petani-petani di sini baru saja panen semangka. Saya masih menemukan buah-buah semangka kering yang tergeletak begitu saja di lahan. “Sisa panen kemarin,” kata Pak Kr.
Lahan Pak Kr berjarak sangat dekat dari bibir pantai. “Cuma sekitar seratus meter dari pantai,” ujar Pak Kr. Dari lahan Pak Kr, birunya lautan dapat terlihat dengan jelas. Pemandangan yang luar biasa! 
***
Rabu, 4 April 2012. F kembali menemani saya ke Kulon Progo. Siang itu kami menuju ke rumah Bu Tj. Rumahnya berjarak dua kilometer dari rumah Pak Kr.
Kami sempat kebingungan menemukan rumah Bu Tj. Setelah bertanya pada perempuan yang menggendong anak kecil, akhirnya kami sampai di rumah Bu Tj. Rumahnya berdinding bata merah.
Saat itu di rumah hanya ada Ks, menantu Bu Tj. Ks sedang menyuapi anaknya yang berusia tujuh bulan. Bu Tj sedang tidak di rumah, ia masih di lahan.
Akhirnya Bu Tj datang setelah kami menunggu cukup lama. Saya menyampaikan maksud kedatangan saya. Namun, Bu Tj menolak diwawancarai. Bu Tj hanya berkata, “sudah ketemu Pak Kr kan, Mbak? Ya sama. Yang saya rasakan juga sama seperti yang dirasakan Pak Kr,” kata Bu Tj.
Saya pun mohon diri. Saya lalu memutuskan menemui Mas Wd, petani yang juga pengurus PPLP. Di perjalanan menuju rumah Mas Wd, F banyak bercerita pada saya. Keluarga Pak Tj memang sulit terbuka pada orang asing. Kasus hukum yang menjerat Pak Tj membuat keluarga itu pernah mengalami penipuan. Beberapa kali mereka dijanjikan bahwa Pak Tukijo bisa bebas asal mereka membayar sejumlah uang. Namun, janji-janji itu tak pernah terbukti…
Mas Wd sedang duduk di teras rumah ketika kami datang. Kami lalu berbincang-bincang di ruang tamu rumahnya.
Mas Wd mengatakan, ia sering merasakan perutnya sakit, asam lambungnya naik jika PPLP akan mengadakan event atau aksi. Event dan aksi yang diadakan PPLP selalu dijaga ketat oleh polisi, bahkan kadang tentara. Ia cemas bentrokan bisa terjadi. “Sering susah tidur juga kalau mau ada aksi,” kata Mas Wd menambahkan.
“Apa yang paling bikin cemas dari rencana penambangan ini?” tanya saya.
“Yang paling mencemaskan ya menggusur kehidupanku. Nanti aku hidup dimana? Itu yang paling bikin cemas,” jawab Mas Wd.
Mas Wd mersakan beban berat sebagai pengurus PPLP. “Ya pasti beban to. Gimana nggak? Ya namanya mengatur ribuan orang. Tiap kepala isinya nggak ada yg sama. Dan kita untuk menyamakan persepsi itu kan juga susah.
Ini sudah masuk tahun ketujuh. Sudah lama lho itu. Kalau ini bukan betul-betul perjuangan akar rumput ya sudah hancur itu. Dengan iming-iming uang yang segitu banyaknya dan kita sendiri kan betul-betul harus jeli untuk melihat sesuatu, baik di dalam PPLP maupun di luar PPLP. Seperti bagaimana dengan situasi, apa yang harus kita lakukan. Betul-betul harus bisa mengolah. Makanya kadang-kadang kayak yang aku katakan tadi, kalau pikiran berat itu terus larinya ke perut.  Asam lambung naik. Jelas kurang istirahat juga. Selama (hampir) tujuh tahun itu kerap mengalami itu setiap mau ada acara yang di situ berpotensi akan timbul konflik. Harus memikirkan bagaimana caranya meredam konflik, kalau misalnya terjadi konflik, nanti pasca konflik itu akan gimana.”
Mas Wd menambahkan, tidak semua orang bisa menghadapi keadaan seperti itu. “Betul-betul butuh keberanian untuk mengambil sebuah keputusan,” ujarnya.
Besarnya potensi konflik yang mungkin muncul juga menjadi beban tersendiri bagi Mas Wd. Meskipun warga yang pro tambang tidak banyak jumlahnya, timbul kerentanan terjadi gesekan antara warga yang pro tambang dengan warga yang menolak tambang. Mas Wd menceritakan kejadian di Desa Karangwuni. “Di Karangwuni itu kan kemarin ada orang mati. Itu katakanlah anaknya kerja di tambang.  Tetangganya nggak ada yang hadir melayat. Biarpun cuma tetangga sebelah rumah pun nggak datang. Sampai segitunya itu lho. Lha itu yang layat cuma orang-orang jauh. Keluarganya sendiri kalau masih tetangga pun nggak datang. Karena takut juga to. Itu kan hukum sosial. Ketika orang itu datang melayat ke situ, ya dia (dianggap) ikut pro.“
***
Kamis itu (5 April 2012) saya menemui teman saya, ISN, yang bekerja di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. ISN menunjukkan pers rilis keluaran LBH Yogyakarta terkait penolakan warga terhadap penyusunan AMDAL bagi penambangan bijih besi di Kulon Progo.
Amdal atau analisis mengenai dampak lingkungnan adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. Sedangkan pengertian dari dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Lingkungan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik maupun biologi, tetapi juga aspek sosial-ekonomi-budaya dari manusia yang tinggal di wilayah tersebut.
“Proses penyusunan Amdal masih berjalan. Padahal warga menolak,” kata ISN. Selain itu, rencana penambangan ini rentan mencederai hak warga atas kepemilikan tanah. “Konflik lahan pasti terjadi. Lahan yang mau ditambang itu kan terdiri dari tanah merah (tanah negara), tanah Pakualaman dan tanah warga sendiri. Masih ada konflik terkait batas-batas tanah yang tidak jelas.”

***
Saya juga menemui AC. Ia mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. AC teman saya yang pernah mengumpulkan data-data pelanggaran HAM di Kulon Progo. Data itu ia kumpulkan untuk menyusun laporan yang ditujukan pada Human Right Watch.
Tidak seperti saya yang ditolak saat hendak mewawancarai Bu Tj, AC berhasil mewawancarai Bu Tj. “Tampak sekali kecemasan pada Bu Tj. Tulang punggung keluarganya ditahan. Waktu aku bertanya soal ekonomi keluarga, bu Tj menjawab kalau ekonomi keluarga jadi morat-marti,” kata AC.
AC menjelaskan tentang teori konflik dalam kaitannya dengan konflik vertikal dan horizontal di Kulon Progo. “Teori konflik yang paling mendasar ialah membiarkan konflik itu terjadi, dan konflik itu akan terus berkembang.” Menurut AC, konflik horizontal lah yang justru akan makin berkembang. “Sekalipun tambang batal, konflik horizontal itu akan tetap ada. Sebab orang-orang yang pro tambang pasti kan mengharapkan sesuatu (dari penambangan pasir besi). Mereka pasti sakit hati kalau tambang batal. Dan mereka jadi marah pada warga yang menolak penambangan. Sebab tambang jadi batal gara-gara warga yang menolak,” katanya melanjutkan.
AC juga datang ketika PPLP merayakn ulang tahun yang keenam tanggal 1 April lalu. Ia bercerita pada saya tentang perayaan ulang tahun kemarin. “Ulang tahun PPLP yang terakhir kemarin banyak muatan religiusnya. Malam pengajian, siang juga pengajian lagi. Di satu sisi, pengajian itu bisa meredam kecemasan, di sisi lain itu juga bisa memberikan optimisme bahwa perjuangan mereka akan dibantu oleh kekuatan-kekuatan transendental (Tuhan)…”     

***
Kondisi Kejiwaan
Konflik itu sudah berjalan selama enam tahun, kini memasuki tahun ketujuh. Warga merasa cemas akibat rencana penambangan yang bakal membuat mereka kehilangan lahan, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan menciptakan konflik-konflik antar sesama warga. Ini jelas bukan permasalahan sederhana. Semua terlibat, mulai dari negara, pemodal asing, sultan, kraton, aparat kemanan, dan warga pesisir Kulon Progo.
Kecemasan yang dialami Pak Kr dan Mas Wd menimbulkan gejala-gejala otonomik seperti gangguan lambung ringan dan sulit tidur. Ketika mewawancarai Pak Kr, beliau juga bercerita tentang pengurus PPLP bernama Pak Sd yang tinggal di Desa Karangwuni. Pak Sd sering tidak bisa tidur sehabis rapat PPLP. “Pak Sd sampai stress, kagol, cemas, bahkan pernah sampai menyiapkan senjata,” kata Pak Kr.
Dalam buku Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri, kecemasan didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut.
Masih menurut buku tadi, sensasi kecemasan sering dirasakan oleh hampir semua orang. Perasaan cemas ditandai dengan rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada dan gangguan lambung ringan.
Saya sepakat dengan AC yang mengatakan bahwa muatan religius (berupa pengajian) saat ulang tahun PPLP kemarin bisa meredam kecemasan. Sekiranya warga Kulon Progo perlu bersama-sama meningkatkan keterlibatan aktivitas religius untuk meredam kecemasan.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran jiwa, aktivitas religius mempunyai peranan besar untuk menunjang kesehatan mental seseorang. Contohnya dalam jurnal Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study. Dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya keterlibatan aktivitas religius sebagai faktor risiko bunuh diri di Bali. 
 
Daftar Pustaka

Kaplan dan Cadock. 1997. Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara, Jakarta

Kurihara dkk. 2009. Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study.
BMC Public Health 2009, 9:327 doi:10.1186/1471-2458/9/327

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 2010. Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Yogyakarta

Majalah Natas. Tahun terbit 2010

(Epilog : Ada yang menarik ketika saya mempresentasikan laporan ini ke dua orang dosen penguji di kampus. Salah seorang dosen penguji berkomentar, masalah penolakan ini juga berkaitan dengan harga diri para petani di sana. Harga diri para petani ikut tercederai karena rencana penambangan pasir besi. Keberhasilan mereka menciptakan teknik bercocok tanam yang membuat lahan kritis bisa ditanami akan diobrak-abrik akibat tambang besi. Kurang lebih dosen saya bilang, "penolakan tambang itu juga soal harga diri. Usaha keras mengubah lahan kritis jadi bisa ditanami akan hancur kalau penambangan jadi dilakukan. Itu kan semacam melukai harga diri petani.")

Senin, 02 April 2012

Dua Kekalahan


Mendadak sebuah kenangan menempeleng kepalaku. Aku yang sedang mengemasi majalah-majalah lama ke dalam kardus tak siap dengan serangan itu. Dari sebuah majalah kampus lawas yang kupegang, si kenangan meloncat keluar lalu menghantami kepalaku tanpa ampun. Aku jatuh terduduk, tapi si kenangan tetap tak memberi ampun.
Lalu tiba-tiba ia menghentikan serangannya. Aku terengah, mencoba mengumpulkan kesadaranku. Naas, belum selesai upayaku mengumpulkan kesadaran, serangan selanjutnya keburu datang. Kali ini ia tidak memukul, ia masuk ke dalam kepalaku lewat lubang telingaku.
Di dalam kepala, ia menggiring otakku pada ingatan enam tahun silam. Tanpa bisa mengelak, ingatanku menerawang pada peristiwa itu. Kandas sudah rencanaku mengemasi buku dan majalah yang akan kubawa pindah ke ibu kota.
***
Hari itu tak akan pernah lenyap dari ingatanku, Kamis, 26 September 2004. Aku ingat persis bagaimana garis-garis wajah bapak Suriyanto mengeras. Senyum yang biasanya ramah telah lenyap. Jari telunjuk tangan kananku terus mengetuk-ngetuk paha, aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Kursi kayu yang kududuki terasa sangat tidak nyaman. Walaupun ruangan dosen ini ber-AC, aku merasakan setets keingat dingin yang mengalir turun dari tengkukku.
“Kamu pintar, Andi. Nilai tugas dan kuismu selalu bagus. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya tidak masuk kelas. Kamu tidak masuk tujuh pertemuan dan sekarang kamu minta saya mengizinkan kamu ikut ujian akhir semester. Mengapa kamu sering tidak masuk kelas?”
Aku memberanikan diri menatap matanya yang terbingkai kaca mata bulat. “Semester ini saya mengerjakan majalah kampus, Pak. Saya pemimpin redaksinya. Karena berpacu dengan deadline dan lima orang staf redaksinya mangkir, saya terpaksa membolos beberapa kali unruk menyelesaikan liputan majalah. Maaf, Pak,” dua kata yang terakhir itu kuucapkan dengan sangat lirih. Ia tersenyum dengan hanya menarik sebelah bibirnya, meremehkan argumenku.
“Dulu saya juga aktivis ketika mahasiswa. Tapi saya tidak pernah sampai melobi dosen untuk diizinkan ikut ujian,” ujarnya. Aku hanya bisa diam mendengar kata-kata dosen Matematika Ekonomi itu. Tentu saja dulu Bapak tidak pernah melobi dosen. Dulu mana ada peraturan sialan yang mengharuskan kehadiran minimal tujuh puluh persen!
Sesaat tercipta keheningan yang tidak nyaman. Aku tak tahu harus berkata apa untuk memecah keheningan itu. Bapak Suriyanto menghela nafas panjang. “Kamu bawa majalahnya? Coba saya lihat, apa benar kamu sibuk mengerjakan majalah kampus.” Aku meraih tas ranselku yang kutaruh di lantai. Kukeluarkan sebuah majalah yang masih mulus dari tas ransel using, tas yang sudah kupakai sejak masih di sekolah menengah atas.
Aku mengulurkan majalah berkulit muka warna merah itu kepada Bapak Suriyanto. Ia menermianya dengan agak kasar. Dahinya sedikit mengerenyit ketika melihat kulit mukanya. Ia mulai membaca, sesekali membalik halaman. Kacamatanya sedikit melorot di batang hidung. Sekali lagi tercipta keheningan.
Hening itu memberi ruang bagi pikiranku untuk melayang kemana-mana. Pikiranku terbang menembus dinding-dinding ruang dosen, melayang ke ingatan sebulan lalu. Ingatan tentang proyek pembangunan mal di sebuah jalan utama. Jalan yang dinamai dengan nama seorang pahlawan.
Aku dan Wisnu, fotografer majalah kampus, meliput pembangunan Ambar Plaza, sebuah mal yang katanya akan jadi mal terbesar di Yogyakarta. Memang pembangunan tersebut sedang ramai jadi buah bibir masyarakat Yogyakarta. Terutama ketika tersiar kabar bahwa pembangunan itu akan menggerus sebagian tembok Gedhong Kanan. Gedhong Kanan ialah paviliun sebelah kanan dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambar.
Rupanya kabar itu benar. Sehari setelah beredar kabar tentang penggerusan tembok Gedhong Kanan, pukul enam pagi aku dan Wisnu langsung menuju lokasi pembangunan Ambar Plaza. Seng-seng putih tebal setinggi dua meter tersusun rapi untuk menutupi pemandangan di dalam proyek pembangunan mal. Kami masuk lewat gerbang kecil yang tidak dijaga satpam.
Begitu masuk ke dalam lokasi proyek, kami terkejut! Ternyata sebagian tembok Gedhong Kanan telah benar-benar digerus. Alat berat yang digunakan untuk merobohkan tembok masih diparkir di dekat reruntuhannya.
Aku setengah tak percaya. Kuasa kapital telah menghancurkan nilai sejarah. Dewa Kapital lebih berkuasa daripada Kerajaan Yogyakarta. Dengan iming-iming pendapatan asli daerah yang besar, mereka yang memerintah Yogyakarta telah bertekuk lutut pada Dewa Kapital. Mereka melalaikan apa yang telah dimiliki, yang seharusnya dijaga bersama.
Oh, Dewa Kapital. Tahukah kau, Dewa Kapital? Gedhong Kanan itu bangunan dengan nilai sejarah yang tak terhingga. Tempat ini menjadi peristirahatan terakhir Raja Ketujuh dan pernah menjadi tempat tetirah bagi para utusan dari Kasunanan!
Suara shutter kamera SLR milik Wisnu menyadarkanku dari lamunan tentang Dewa Kapital. Wisnu terus memotret. Aku mengedarkan pandangan, belum ada siapa-siapa di lokasi proyek. Aku dan Wisnu berjalan mendekati reruntuhan tembok Gedhong Kanan. Wisnu berjalan lebih cepat di depanku. Ia ingin mengambil gambar reruntuhan itu dari dekat.
“Hei! Jangan memotret!” Tiba-tiba sebuah suara kasar dan berat menghardik kami. Seorang satpam berlari ke arah kami. Kulitnya hitam, tubuhnya tinggi besar. Wisnu tetap memotret, mengacuhkan teriakan itu.
“Jangan memotret!” teriaknya sekali lagi. Wisnu tetap mengabaikan perintah itu. Jika Wisnu sudah berkeyakinan bahwa suatu peristiwa layak diberitakan, ia tak mau dihentikan. Keyakinan bahwa kebenaran harus disiarkan menjadi harga mati bagi Wisnu.
Satpam itu semakin mendekat. Wisnu berbalik dan memotret satpam itu. Setiap ia melarang Wisnu memotret, Wisnu malah memotretnya berkali-kali. Satpam itu naik pitam. Ia berusaha merampas kamera Wisnu. Wisnu mengamankan kameranya dengan tangkas.
“Saya wartawan, Pak,” kata Wisnu sambil menunjukkan kartu pers yang dikalungkan di leher.
“Saya bilang jangan memotret!”
“Kenapa tidak boleh memotret?”
“Saya bilang jangan memotret! Sini! Berikan filmnya!”
“Nggak!” Wisnu balas berteriak.
Sekali lagi satpam berusaha merampas kamera. Wisnu mulai kualahan mengamankan kamera. Tubuh kurusnya nyaris terjatuh ketika berusaha menjauhkan kamera dari jangkauan satpam. Aku berlari ke arah Wisnu. Aku menarik tangan si satpam, mencegahnya mengambil kamera. Dengan gerakan cepat, satpam mendorongku. Tubuhku yang sama kurusnya dengan Wisnu langsung terjembab di tanah. Lututku membentur batu. Nyeri hebat langsung menikam.
Aku meludahkan butiran-butiran tanah yang masuk ke mulut. Cepat-cepat bangkit berdiri untuk membantu Wisnu. Tak kuhiraukan nyeri di lutut. Aku mencengkram kerah belakang baju si satpam, menariknya menjauhi Wisnu.
Di tengah pergumulan, sebuah suara mengejutkan kami, “ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” Kami berhenti berebut, menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki separuh baya berkulit putih mendekati kami. Wajahnya tampak marah. Ia mengenakan celana kain warna hitam dan kemeja biru muda. Dasi coklat melengkapi penamiplannya yang rapi. Kelihatannya ia orang yang punya kuasa di proyek.
“Ada apa ini?” tanyanya pada satpam.
“Anu…mereka memotret di proyek ini tanpa izin, Pak”
“Di proyek ini tidak ada peringatan dilarang memotret, Pak” Wisnu menyela.
Lelaki berkulit putih itu melihat ke sekeliling. Kami yang sibuk berebut kamera tidak memperhatikan kalau beberapa wartawan lain juga sudah mulai berdatangan. Sebagian dari mereka menenteng kamera. Kedatangan wartawan-wartawan lain membuat si lelaki berkulit putih tampak gusar. “Lelaki itu pasti tidak mau keributan kami diketahui wartawan lain,” kataku dalam hati. Benar saja. Ia minta maaf atas kelakuan si satpam. Ia juga meminta kami segera meninggalkan lokasi proyek.
Kami langsung meninggalkan lokasi proyek. Aku berjalan tertatih. Nyeri masih merambati kakiku. Wisnu jalan di sampingku sambil memasukkan kamera ke dalam tas. Aku melirik arlojiku. Sekarang jam 07.30. Tidak mungkin aku mengikuti kelas bapak Suriyanto, aku sudah terlambat tiga puluh menit. Sekali lagi aku terpaksa membolos. Aku tak ingat ini kali keberapa aku membolos kelasnya. Sialan! Lima orang staf redaksi yang mangkir membuatku terpaksa mengerjakan jatah liputan mereka. Semoga aku masih bisa ikut ujian.
***
Sekarang pikiranku terbang ke kampung halamanku di Notog, Banyumas. Sumpah! aku tak akan memohon pada dosen jika tidak ingat keluargaku di kampung. Bapak ibuku yang petani sudah mulai renta. Tangan mereka yang keriput kucium setiap kali aku pamit kembali ke Yogyakarta.
Sekira enam bulan lalu ketika aku pulang kampung, kuperhatikan benar bagaimana dinding anyaman bambu rumahku mulai lapuk. Beberapa kayu penyangga rumah keropos di sana-sini.
Pada suatu malam, di teras rumah aku dan bapak duduk-duduk di kursi bambu. Kami mengobrol sambil menyantap sepiring pisang rebus buatan ibu. Tak ketinggalan, dua gelas kopi ikut menemani kami. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dari sawah-sawah dekat rumah. Angin malam berhembus sesekali, mengantarkan hawa dingin.
Bapak membuka obrolan dengan bercerita tentang harga pupuk yang terus naik. “Regane larang lan angel digolet,” kata bapak dengan logat Banyumasnya yang kental. Bapak terus berkisah tentang pupuk yang mahal dan sulit di cari itu. Ia membandingkannya dengan dua puluh tahun yang lalu. Sekarang kehidupan petani semakin sulit. Pada musim tanam, sebagian petani terpaksa berhutang untuk membeli bibit dan pupuk karena harganya tak lagi murah. Hutang itu baru bisa dibayar ketika panen. Namun jika panen gagal, petani dipastikan merugi. Bapak sendiri sudah hutang dua juta rupiah pada pak lurah. Ia juga bercerita tentang teman-temannya yang akhirnya menjual sawah mereka untuk melunasi hutang.
Aku menyalakan rokok. Giliran aku yang bercerita pada bapak tentang beasiswa prestasi yang kudapatkan. Bapak tak perlu mengkhawatirkan biaya kuliahku semester ini. Bapak tersenyum penuh arti. Matanya menyiratkan kebanggaan. Ia menepuk bahuku sambil mendoakanku supaya jadi anak yang berhasil. “Ya muga-muga dadi bocah sing mulya,” katanya.
Bapak mengambil rokok kretek yang ia selipkan di telinga. Rambutnya yang sudah memutih membuatku tak sadar kalau ia menyelipkan rokok di telinga. Ia pinjam korekku untuk menyalakan rokok. Bapak tidak berkata apa-apa lagi. Kepalanya sedikit mendongak, matanya menerawang memandang langit yang berbintang. Seulas senyum belum lenyap dari bibirnya. Setelah rokoknya habis, bapak membetulkan lilitan sarung yang dikenakan. Tangan kirinya menarik lengan kaus lusuh yang agak melorot ketika ia membetulkan sarung. Bapak menepuk bahuku sekali lagi, ia lalu masuk ke rumah.
Aku masih tak bergeming dari teras, menyandarkan tubuhku di punggung kursi bambu. Dua juta rupiah… jumlah yang sangat besar bagi keluargaku. Padahal baru tiga minggu lalu bapak berhasil melunasi hutangnya pada pak lurah, jumlahnya tiga juta rupiah. Uang pinjaman itu ia gunakan untuk membayar biaya masuk kuliahku setahun yang lalu.
Aku menatap kursi yang tadi diduduki bapak. Senyum penuh arti bapak terpatri di kepalaku. Bapakku, laki-laki kampung yang punya kemauan keras untuk menyekolahkan anak semata wayangnya sampai perguruan tinggi. Bapak ingin aku punya kesempatan yang lebih baik daripada membantunya di sawah, daripada menjadi petani.
Malam itu aku berjanji. Walaupun aku sibuk jadi pemimpin redaksi, aku akan berusaha mempertahankan beasiswa yang kudapat. Aku tak ingin memberatkanmu, Pak...
***
“Baiklah, Andi.” Kata-kata Bapak Suriyanto langsung membawa pikiranku kembali ke ruang dosen. Pengembaraannya ke lokasi proyek dan Notog telah selesai. Bapak Suriyanto meletakkan majalah di meja. Sekarang ia menatapku tajam.
“Saya tahu kamu dapat beasiswa. Kalau tidak ikut ujian mata kuliah saya, kamu khawatir IPmu jatuh dan beasiswamu dicabut?” Aku mengangguk. “Aku akan menyulitkan bapak jika beasiswaku sampai dicabut,” kataku dalam hati.
Bapak Suriyanto melanjutkan. “Padahal kamu butuh beasiswa. Lalu kenapa kamu aktif di pers kampus? Kesibukannya malah membuatmu tidak bisa ikut kelas saya.”
Aku diam sejenak, bingung harus berkata apa. Akhirnya aku memberikan penjelasan. “Karena di kantor pers kampus saya bisa pakai komputer, Pak. Saya baru bisa mengoperasikan komputer sejak ikut pers kampus. Saya juga jadi memiliki sahabat-sahabat, mereka selalu membantu saya jika saya mengalami kesulitan. Mereka sering meminjami saya buku, bahkan uang. Satu lagi, Pak. Saya pernah mewawancarai seorang guru besar fakultas ekonomi dan sempat bertukar pikiran dengan beliau setelah wawancara selesai. Saya cuma orang dusun, Pak. Kalau bukan karena ikut pers kampus, saya tak mungkin memiliki peluang-peluang itu,” kataku.
Bapak Suriyanto bersandar pada punggung kursi. Ia melepas kaca matanya, meletakkan di meja. Ia menggosok-gosokkan tangan ke wajahnya. “Ya sudah. Besok pagi saya akan bilang ke pengajaran supaya kamu diperbolehkan ikut ujian.” Aku mengucapkan terima kasih. Sekeitka itu juga rasa lega memenuhi hatiku. Karena tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, aku mohon diri.
Aku sudah bersiap membuka pintu ruang dosen ketika bapak Suriyanto bertanya lagi padaku.
“Saya mau tanya satu hal lagi sama kamu. Menurutmu, apa tindakanmu melobi saya ini adalah hal yang benar?”
“Salah, Pak. Saya telah melanggar peraturan. Peraturan tetap saja peraturan, walaupun saya membenci aturan itu. Jujur, jika keuangan keluarga saya sedang baik, saya lebih pilih mengulang mata kuliah Bapak tahun depan,” ujarku lirih.
“Kamu tahu, Andi? Saya yakin orang-orang yang kamu beritakan di majalahmu itu awalnya seperti kamu.”
“Maksud, Bapak?” tanyaku bingung.
“Mereka tidak kuasa melawan apa yang mereka anggap salah. Saya yakin, jauh di lubuk hati mereka, mereka pun menganggap merobohkan tembok Gedhong Kanan bukanlah tindakan yang benar. Tapi mereka tak berdaya melawan apa yang mereka anggap salah. Sama seperti kamu, Andi. Kamu mengamini kalau tindakanmu salah. Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi...”
Tanganku gemetar ketika membuka pintu ruang dosen. Kata-kata bapak Suriyanto bagaikan pisau yang menusuk dadaku, menghunjam tepat di jantung...
***
Kenangan itu sudah keluar dari kepalaku. Tetapi ia tidak pergi, sekarang ia duduk di sudut kamar kosku yang berantakan. Aku membenamkan wajahku ke kedua telapak tangan. Badanku gemetar. Enam tahun sudah berlalu, tapi kenangan itu masih mampu membuat perasaanku tercabik. Bagiku kenangan itu adalah dua kekalahan dalam waktu yang bersamaan. Warisan sejarah yang ditumbangkan Dewa Kapital dan ketidakberdayaanku dalam melawan sikap salah itu.
Aku meraih bungkus rokok yang tergeletak di lantai. Merokok biasanya bisa membuatku lebih tenang. Kuhisap rokokku dalam-dalam, berharap efek nikotinnya mampu menyingkirkan kata-kata bapak Suriyanto yang sekarang terus bergaung di telingaku. “…Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi...”
Kuhisap rokokku lebih dalam. Aku mengalihkan pikiranku dengan membayangkan pekerjaan baruku di ibu kota. Aku diterima sebagai salah satu peneliti di sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Pekerjaan itu jauh lebih menarik minatku daripada pekerjaanku sekarang, outsourcing di bank swasta. Lagipula aku sudah bosan tinggal di Yogyakarta.
Aku melirik ke sudut kamar. Sialan! Si kenangan masih duduk di sana. Ada yang bilang kenangan itu seperti tato, tidak pernah benar-benar hilang…
Ada juga yang bilang kenangan itu seperti perantau, mereka selalu kembali pulang…
Catatan : Di Yogyakarta, Rabu, 25 Agustus 2004, pembangunan mal Plaza Ambarrukmo telah menggerus sebagian tembok Gedhong Tengen, sebuah pavilion sebelah kanan dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambarrukmo. Dalam sejarahnya, tempat itu jadi peristirahatan terakhir Sultan Hamengku Buwono VII dan tempat tetirah bagi para utusan dari Kasunanan Surakarta.

* Ini versi yang berbeda dari yang dimuat di Majalah Horison edisi Januari 2012. Ini versi sebelum diedit oleh editor Horison. Versi yang telah diedit oleh editor majalah Horison bisa dilihat di sini.