Minggu, 07 April 2013

Mawar dan Edelweiss

Untuk A


Awalnya kelopak Mawar itu berwarna putih. Wangi Mawar selalu menyelimuti. Waktu terus membawanya berlari hingga kelopak putih itu mengering dan berubah warna. Waktu memang terus pergi berlari, tapi waktu selalu meninggalkan penanda. Hari dimana kamu memberi Mawar putih itu menjadi penanda yang ditinggalkan jejak waktu. Duapuluh lima Oktober, tahun duaribu sepuluh. Hari ulang tahunku yang ke duapuluh satu.


Aku menyipman Mawar di buku harianku. Dulu aku punya sebuah buku kosong yang dengan cepat terisi oleh segala macam coret-coret. Di buku itu banyak sekali cerita dan tumpahan perasaan yang berserakan. Itu adalah masa dimana aku belajar membesarkan hati menjadi sebuah tempat yang cukup lapang menerima hidup. Sebuah masa dimana aku mencari apa yang sebenarnya aku cari. Merasa belum siap dengan hidup orang dewasa yang menjalani berbagai peran secara bersamaan. Masa-masa paling tidak stabil. Dan kamu, sudah ada saat itu…

Pada waktu yang lain, pada sebuah makan malam, kamu memberiku bunga Edelweiss. Kamu bilang itu Edelweiss yang tumbuh di Gunung Lawu. Kamu mengambil Edelweiss yang sudah jatuh di tanah, kamu tidak memetiknya.


Edelweiss bunga yang manis. Tangkainya pun halus, tidak berduri. Seolah Edelweiss tidak didesain untuk menyakiti siapapun yang menyentuhnya. Mungkin Tuhan sedang menunjukkan sisi lembut hatiNya ketika menciptakan Edelweiss. Tapi Edelweiss menuntut perjuangan besar untuk sekadar bisa melihatnya. Aku sendiri belum pernah melihat Edelweiss secara langsung. Ada gunung yang harus ditaklukan, ada jalan terjal yang harus dilalui. Aku yakin kamu menempuh perjalanan yang melelahkan ketika bertemu dengan Edelweiss yang tergeletak di tanah, Edelweiss yang sekarang ada di tanganku…

Waktu juga mengajak Edelweiss itu berlari. Tapi edelseiss tidak pernah berubah. Bentuk dan warnanya masih sama. Mungkin itulah yang menjadikan Edelweiss sebagai simbol sesuatu yang abadi...

Banyak tahun yang sudah berganti sejak kita tidak mengenakan seragam putih biru. Banyak angka-angka dalam kalender yang sudah dilewati sejak Mawar dan Edelweiss itu ada bersamaku. Setelah tahun-tahun yang rumit, aku sangat bersyukur akhirnya kita bersama-sama lagi. Sungguh, aku tidak mau berpisah lagi dari kamu. Aku mencintaimu dan memilikimu…

Ada sebuah kutipan yang sudah familiar di telinga kita. Kamu pernah mengutipnya untukku, aku pun pernah mengutip untukmu. Aku sering mengucapkannya berulang-ulang seperti sebuah zikir. Karena aku selalu berharap itu terjadi pada kamu : semoga kamu baik-baik di sana, tidak demam dan dicintai orang lain…