Senin, 09 Desember 2013

Dalam Pencarian Keadilan

Dalam Pencarian Keadilan
Judul buku                   : Indonesia X - Files
Penulis                         : dr. Abdul Mun’im Idries, SpF
Penerbit                       : Noura Book
Tebal halaman             : 334 halaman
Tahun terbit                 : 2013

Selama ini ilmu kedokteran forensik sering dipandang sebelah mata karena ia tidak bertujuan kuratif (menyembuhkan). Namun, melalui buku ini, dokter Mun’im membuktikan bahwa ilmu kedokteran forensik tidak kalah jasanya dibandingkan ilmu kedokteran lain yang bertujuan kuratif. Buku ini membongkar fakta-fakta dibalik kasus-kasus kriminal dan kejahatan besar di negeri ini. Beberapa diantaranya adalah pembunuhan Munir sang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), tragedi Mei 1998, kasus kematian aktivis buruh Marsinah, hingga pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret nama mantan ketua Komis Pemberantasan Korupis (KPK), Antasari Azhar.
Tidak semua tulisan dalam buku yang terdiri atas enam bab ini mengungkapkan fakta-fakta dibalik sebuah kasus kejahatan. Ada tulisan-tulisan yang sifatnya sekadar memberi informasi mengenai apa yang harus dilakukan supaya suatu kasus kejahatan dapat terungkap. Juga ada tulisan-tulisan yang hanya menerangkan bagaimana cara kerja ilmu kedokteran forensik dalam penegakan hukum dan keadilan (Bab 5 : Kedokteran Forensik Sebagai “Pisau Ilmiah”). Sebagian besar tulisan dalam buku ini ditulis oleh dokter Mun’im. Ada pula tulisan yang memuat ulang tulisan-tulisan yang pernah terbit di media massa.    
Indonesia X - Files menggambarkan seberapa besar keseriusan (atau ketidakseriusan?) pemerintah dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan, terutama kasus pelanggaran HAM. Berikut beberapa fakta dibalik kasus-kasus kejahatan besar yang saya kutip dari buku ini. Beberapa diantaranya belum pernah saya temukan di media massa manapun.
1.      Tragedi Trisakti, Mei 1998
Menurut saya, tulisan ini sangat menarik karena deskripsinya yang detail. Keterlibatan langsung dokter Mun’im dalam kasus ini membuat ia mampu memberikan deskripsi dengan detail yang baik. Ia adalah dokter yang memeriksa jenzah-jenazah mahasiswa Trisakti yang jadi korban penembakan.
Malam itu, dalam perjalanan pulang seusai praktek, dokter Mun’im mendapat telepon dari Idham Aziz (Kasat Serese Polres Metro Jakarta Barat saat itu). Aziz memintanya melakukan pemeriksaan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang tewas akibat penembakan di Trisakti. Ada empat jenazah korban di RS Sumber Waras.
Dokter Mun’im memeriksa empat jenazah mahasiswa Trisakti selama sekitar sembilan puluh menit. Masing-masing korban mendapat luka tembak di area yang mematikan, bukan di area yang hanya akan melumpuhkan korban. Ini dapat dilihat dari lokasi luka tembak yang mengenai bagian mematikan tubuh seperti di daerah dahi dan tembus ke daerah belakang kepala, di daerah leher, di daerah punggung dan ada yang di daerah dada.
Dokter Mun’im juga menceritakan bagaimana Surat Permintaan Visum et Repertum (SPVR) yang tidak lazim. Dokter Mun’im dikirimi SPVR sejumlah enam surat, padahal korbannya hanya empat, dan yang lebih aneh lagi, tidak ada identitas dari para korban. Hanya tertera tanda tangan penyidik. Seharusnya pada formulir SPVR tercantum keterangan mengenai identitas korban, bukan “blangko kosong yang ditandatangani penyidik”. Ia lalu menghubungi pihak Polres Jakarta Barat untuk meminta penjelasan.
Petugas Polres Jakarta Barat yang dihubungi meminta maaf pada dokter Mun’im karena pihaknya tidak tahu berapa korban yang tewas dan juga tidak tahu nama para korban. Mereka juga meminta dokter Mun’im mengisi sendiri formulir SPVR tersebut. Dalam tulisannya, dokter Mun’im mengaku bahwa ini adalah pengalaman yang sangat unik selama berkarir di bidang ilmu kedokteran forensik. Situasi genting di Jakarta membuat beberapa hal tidak berjalan sesuai kelaziman.
Setelah dokter Mun’im selesai, Hamami Nata, Kapolda Metro Jaya saat itu, ingin bertemu dengan dokter Mun’im. Dokter Mun’im lalu diantar ke Polda. Percakapan dokter Mun’im dan Hamami Nata mengindikasikan ada pihak lain yang “bermain” dibalik penembakan para mahasiswa. Berikut kutipan kata-kata Hamami Nata :
               Pak Hamami Nata tampak termangu-mangu, pandangannya menerawang dan dengan nada kecewa beliau berkata perlahan dan sesekali mata beliau memperhatikan bagian mantel atau jaket dari proyektil yang berwarna kuning tembaga.
               “Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?”
               Beliau tidak hanya sekali saja mengatakan hal tersebut, tetapi berulang kali… Bukan baru pertama kali saya berjumpa dengan beliau, jadi sedikit banyak saya mengetahui siapa beliau. “Wah, si Bos digado nih,” saya berkata dalam hati setelah perjumpaan yang baru saja usai. Digado dalam bahasa betawi berarti sama dengan dikerjain. 
2.      Menjadi Saksi Ahli dan Kejanggalan-Kejanggalan pada Kasus Marsinah
Kematian Marsinah, aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS) akibat pembunuhan sadis, menjadi salah satu kasus paling kontroversial yang pernah ditangani dokter Mun’im. Kala itu, Marsinah menjadi ikon gerakan buruh yang berpengaruh luas. Kematian Marsinah dikaitkan dengan adanya konspirasi untuk membendung arus gerakan buruh. Dalam tulisannya, dokter Mun’im menyatakan bahwa ada sebagian analisa yang menduga keras keterlibatan oknum TNI AD yang tidak pernah tersentuh hukum, analisa itu tak pernah muncul ke permukaan.
Berawal dari telepon Trimoelja D. Soerjadi, seorang pengacara di Surabaya yang meminta dokter Mun’im menjadi saksi ahli yang meringankan untuk kliennya, Judi Susanto, pimpinan PT. CPS yang dianggap sebagai “otak” pembunuhan Marsinah. Merasa permintaan tersebut sebagai salah satu tuntutan profesi, dokter Mun’im pun menyanggupi.
Kesediaan dokter Mun’im menjadi saksi ahli yang meringankan menuai kontroversi di antara koleganya sendiri. Waktu itu, rezim Presiden Suharto sedang kuat-kuatnya. Rekan-rekannya mengkhawatirkan keselamatan dokter Mun’im. “Kamu gila, nekat, ngelawan arus, hati-hati nyawa bisa melayang,” kata salah seorang rekannya memperingatkan.
Beberapa hari setelah dokter Mun’im menyanggupi jadi saksi ahli, Trimoelja datang kepadanya dengan membawa berkas-berkas yang dibutuhkan, termasuk dua keterangan Visum et Repertum (VR) dari RSUD Nganjuk dan dari Instalasi Kedokteran Kehakiman RS dr. Soetomo.
Ada beberapa kejanggalan dalam dua VR itu. Pada tubuh Marsinah, didapatkan tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan tengah patah seluruhnya, labia minora kiri robek dan terdapat serpihan tulang. Dalam VR pertama, pada bagian kesimpulan disebutkan bahwa korban meninggal dunia akibat perdarahan pada rongga perut. Padahal, menurut dokter Mun’im, keterangan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan dan sebagainya) bukan mekanisme kematian (perdarahan, mati lemas, syok dan sebagainya). Berbeda dengan penyebab kematian, mekanisme kematian tidak dapat memberi petunjuk tentang alat atau benda yang menyebabkan korban tewas.
Kejanggalan juga ditemukan pada VR kedua. Pada bagian kesimpulan disebutkan bahwa : ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai akibat persentuhan dengan benda tumpul dan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan dengan benda tumpul. Kelaziman dalam pembuatan kesimpulan VR, yang dicantumkan adalah jenis kekerasan, bukan jenis bendanya. Jenis kekerasan meliputi kekerasan tajam, kekerasan tumpul dan senjata api.  
Kapak jelas termasuk benda tajam. Tetapi jika seseorang dipukul dengan bagian punggung atau belakang kapak, cedera yang ditemukan memberi gambaran kekerasan tumpul, berbeda dengan cedera yang diakibatkan bagian kapak yang tajam. Bagian tersebut akan menimbulkan luka terbuka akibat kekerasan tajam.
Sedikit penjelasan dari saya, VR terdiri atas lima bagian : projustitia, pendahuluan, pemberitaan, kesimpulan dan penutup. Bagian kesimpulan memuat identitas korban, kelainan pada korban, hubungan sebab akibat dan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan, sebab dan saat kematian korban. Kekuatan atau daya bukti VR terletak pada bagian pemberitaan (bagian pemberitaan meliputi hasil pemeriksaan luar, hasil pemeriksaan dalam dan hasil pemeriksaan penunjang) dan bagian kesimpulan.
Jadi, -saya ulangi penjelasan dari dokter Mun’im- kejanggalan pada VR pertama ialah tidak mencantumkan sebab kematian (yang dicantumkan pada VR pertama adalah mekanisme kematian, bukan sebab kematian). Sedangkan pada VR kedua, kejanggalannya ialah mencantumkan benda penyebab kekerasan, bukan mencantumkan jenis kekerasan.
Dari kedua VR tersebut, tidak dapat diperoleh penjelasan tentang perlukaan atau kelainan yang menyebabkan Marsinah tewas. Hal ini terjadi, menurut hemat dokter Mun’im, karena salah satunya akibat pembuatan VR yang di luar kelaziman.
Maka, jenis kekerasan yang terjadi pada tubuh Marsinah menimbulkan pertanyaan besar. Kekerasan sepert apa yang dapat menimbulkan cedera pada Marsinah, yang dimulai dari luka terbuka di labia minora kiri, tulang kemaluan kiri yang patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan yang patah dan terpisah, serta tulang kelangkang kanan yang patah seluruhnya? Menurut dokter Mun’im, kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Sebagai saksi ahli, dokter Mun’im menyatakan pendapat yang segera menuai kontroversi : akibat luka tembak!
Pada bagian akhir tulisan, dokter Mun’im memaparkan refleksinya ketika menangani kasus Marsinah : Kasus Marsinah menjadi kontroversi dan kesaksian saya dianggap konyol oleh sebagian teman. Secara tidak langsung saya memang seolah mempertaruhkan profesi dan diri saya. Kematian Marsinah seperti selalu ada yang kurang. Walau para pelaku sudah ada dan sudah dijatuhi hukuman penjara, namun tetap saja menjadi suatu pertanyaan besar di kepala, ada apa di balik kematian aktivis buruh itu?
3.      Benarkah Munir diracun di Udara?
Munir Said Thalib, namanya mencuat sejak ia menjadi aktivis pembela HAM. Laki-laki kelahiran Malang, 8 Desember 1965 itu berani berdiri di garda terdepan dalam pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Kematiannya pada September 2004 masih menyisakan banyak pertanyaan. Munir meninggal di pesawat Garuda jenis Boeing 747, dalam perjalanan menuju Amsterdam. Munir hendak melanjutkan studi S2 bidang hukum di Universitas Utrecht, Belanda. Munir didapatkan meninggal di atas langit Rumania, hanya sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam.  
Dalam tulisannya tentang kematian Munir, dokter Mun’im mengungkapkan banyak fakta yang tidak pernah diberitakan oleh media. Bahkan Dokter Mun’im berpendapat bahwa cerita kematian Munir ialah cerita dengan lakon yang belum tuntas, tetapi “dipaksakan” untuk tuntas.
Dokter Mun’im menerima telepon dari Mabes Polri 3 jam setelah Munir dinyatakan meninggal. Ia diminta bersiap mengotopsi jenazah Munir saat jenazahnya tiba di Jakarta. Dokter Mun’im menyanggupi permintaan tersebut. Namun, Suciwati -istri Munir- menolak jenazah suaminya diotopsi ulang. Sebelumnya, jenazah Munir sudah diotopsi di Belanda. Hasil otopsi menyatakan terdapat timbunan Arsenik yang melebihi ambang batas. Munir meninggal karena keracunan Arsenik.
Dokter Mun’im menilai pelaku pembunuhan Munir sangat pintar. Sebab, kasus keracunan Arsenik sangat langka. Jumlahnya tidak sampai 10%. Selain itu, Arsenik termasuk ideal untuk membunuh (ideal poisioning). Arsenik punya sifat tidak memiliki rasa, warna dan bau.
Menurut dokter Mun’im ada beberapa kejanggalan dalam kematian Munir. Salah satunya terlihat dari penjelasan tim khusus yang diberangkatkan ke Belanda untuk menyelidiki kematian Munir. Laporan tim menyatakan racun Arsenik dimasukan ke dalam minuman jus yang dipesan Munir di pesawat. Menurut dokter Mun’im, hal itu sangat tidak mungkin, sebab Arsenik mudah larut di air panas atau hangat, bukan di air dingin. Jika dimasukan ke minuman dingin, Arsenik akan mengendap. Kemungkinan tempat dimana Munir mendapatkan minuman hangat yang seharusnya dicurigai sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Berdasarkan hal-hal tersebut, dokter Mun’im menyimpulkan lokasinya ialah di Café Bean, Bandara Changi, Singapura. Ada beberapa pelajar yang melihat Munir mampir di Café Bean bersama Pollycarpus.  
Selain itu, berdasarkan skenario tim tersebut, disebutkan bahwa sifat kerja Arsenik (on set of action) adalah sembilan puluh menit. Dokter Mun’im punya analisis yang berbeda dari tim. Menurut analisisnya, dalam waktu tiga puluh menit Arsenik sudah menimbulkan gejala keracunan.
Dokter Mun’im juga menilai tim pencari fakta yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak serius menangani kasus Munir. Indikasinya, di kepolisian ada spesialisasi tugas, misalnya untuk menangani kasus narkoba, kasus korupsi dan sebagainya, akan ditangani oleh pejabat-pejabat yang relevan dengan maslah tersebut. Berdasarkan pertemuan pertama tim pencari fakta yang dipimpin oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dokter Mun’im segera memberikan penilaian bahwa tim ditangani oleh pejabat yang tidak nyambung. Hemat kata, tim itu tidak serius.
Ada cerita yang sangat menarik dari tulisan dokter Mun’im tentang kematian Munir. Suatu hari ia menerima telepon dari Kabareskrim Mabes Polri yang saat itu dijabat oleh Bambang Hendarso. Danuri meminta dokter Mun’im menyampaikan analisnya perihal kematian Munir, supaya pelaku pembunuhan dapat ditemukan. Ia berbicara singkat, “Dokter, ini untuk Merah Putih”. Dengan heran, dokter Mun’im menanyakan apa maksudnya untuk Merah Putih. Danuri menrangkan, “Kalau kita tidak bisa masukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak akan cair. Karena dia (Munir) tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, Dok.”
Pada akhirnya, nama Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi penutup yang tidak memusakan dalam kasus Munir. Pertanyaan-pertanyaan dokter Muni’im di bagian akhir tulisan terasa sangat mengusik, sebab pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah menemui jawabannya hingga kini : “Punya urusan apa Pollycarpus menghabisi Munir? Kalau memang dia ‘ditugaskan’, siapa yang menugaskannya?”
***
Tahun-tahun telah berganti, banyak hal telah terjadi. Namun, aksi Kamisan1 masih terus berlangsung, pabrik tempat Marsinah pernah bekerja telah tenggelam oleh luapan Lumpur Lapindo2, juga presiden Yudhoyono yang belum berhasil menepati janji tuntaskan kasus Munir hingga menjelang akhir pemerintahannya. Korban-korban pelanggaran HAM masih menemui jalan buntu dalam pencariannya menemukan keadilan. Keseriusan pemerintah jadi poin penting bagi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Buku ini menjadi pencerah untuk menilai kadar keseriusan pemerintah kita dalam penegakan HAM.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan dalam buku ini, seperti tidak ada penjelasan rinci tentang istilah-istilah kedokteran yang digunakan (yang berpotensi menimbulkan kebingungan bagi orang-orang yang tidak berkecimpung di dunia medis), Indonesia X - Files berhasil menjadi suara bagi mereka yang tidak lagi bisa bersuara!






1 Aksi Kamisan adalah aksi yang digelar di depan Istana Negara oleh keluarga korban pelanggaran HAM dan aktivis-aktivis pembela HAM. Tulisan mengenai Kamisan dapat dilihat di : http://indoprogress.com/kamisan/
2 Bangunan PT Catur Putra Surya tempat Marsinah pernah bekerja telah tenggelam akibat semburan Lumpur Lapindo yang dimulai pada 29 Mei 2006 . Lihat keterangan dari Andreas Harsono tentang tenggelamnya bangunan pabrik yang tenggelam oleh Lumpur Lapindo di : http://www.andreasharsono.net/2008/12/lumpur-lapindo-di-sidoarjo.html

Minggu, 07 April 2013

Mawar dan Edelweiss

Untuk A


Awalnya kelopak Mawar itu berwarna putih. Wangi Mawar selalu menyelimuti. Waktu terus membawanya berlari hingga kelopak putih itu mengering dan berubah warna. Waktu memang terus pergi berlari, tapi waktu selalu meninggalkan penanda. Hari dimana kamu memberi Mawar putih itu menjadi penanda yang ditinggalkan jejak waktu. Duapuluh lima Oktober, tahun duaribu sepuluh. Hari ulang tahunku yang ke duapuluh satu.


Aku menyipman Mawar di buku harianku. Dulu aku punya sebuah buku kosong yang dengan cepat terisi oleh segala macam coret-coret. Di buku itu banyak sekali cerita dan tumpahan perasaan yang berserakan. Itu adalah masa dimana aku belajar membesarkan hati menjadi sebuah tempat yang cukup lapang menerima hidup. Sebuah masa dimana aku mencari apa yang sebenarnya aku cari. Merasa belum siap dengan hidup orang dewasa yang menjalani berbagai peran secara bersamaan. Masa-masa paling tidak stabil. Dan kamu, sudah ada saat itu…

Pada waktu yang lain, pada sebuah makan malam, kamu memberiku bunga Edelweiss. Kamu bilang itu Edelweiss yang tumbuh di Gunung Lawu. Kamu mengambil Edelweiss yang sudah jatuh di tanah, kamu tidak memetiknya.


Edelweiss bunga yang manis. Tangkainya pun halus, tidak berduri. Seolah Edelweiss tidak didesain untuk menyakiti siapapun yang menyentuhnya. Mungkin Tuhan sedang menunjukkan sisi lembut hatiNya ketika menciptakan Edelweiss. Tapi Edelweiss menuntut perjuangan besar untuk sekadar bisa melihatnya. Aku sendiri belum pernah melihat Edelweiss secara langsung. Ada gunung yang harus ditaklukan, ada jalan terjal yang harus dilalui. Aku yakin kamu menempuh perjalanan yang melelahkan ketika bertemu dengan Edelweiss yang tergeletak di tanah, Edelweiss yang sekarang ada di tanganku…

Waktu juga mengajak Edelweiss itu berlari. Tapi edelseiss tidak pernah berubah. Bentuk dan warnanya masih sama. Mungkin itulah yang menjadikan Edelweiss sebagai simbol sesuatu yang abadi...

Banyak tahun yang sudah berganti sejak kita tidak mengenakan seragam putih biru. Banyak angka-angka dalam kalender yang sudah dilewati sejak Mawar dan Edelweiss itu ada bersamaku. Setelah tahun-tahun yang rumit, aku sangat bersyukur akhirnya kita bersama-sama lagi. Sungguh, aku tidak mau berpisah lagi dari kamu. Aku mencintaimu dan memilikimu…

Ada sebuah kutipan yang sudah familiar di telinga kita. Kamu pernah mengutipnya untukku, aku pun pernah mengutip untukmu. Aku sering mengucapkannya berulang-ulang seperti sebuah zikir. Karena aku selalu berharap itu terjadi pada kamu : semoga kamu baik-baik di sana, tidak demam dan dicintai orang lain…

Sabtu, 01 September 2012

Pengetahuan-Sesat-dan-Masih-Diterapkan (Bagian 1)



Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis yang semacam tulisan ini. Karena bagaimanapun juga, penulis di blog ini adalah mahasiswa kedokteran, bukan mahasiswa Fisipol atau mahasiswa sastra. Minat saya memang terlalu random. Hihi…

Sudah lama saya ingin menulis tentang penyakit, fisiologi tubuh manusia dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan, bukan cuma soal kebijakan pembangunan kesehatan (saya paling banyak menulis soal ini). Tapi saya tidak ingin tulisan yang hanya memindahkan isi text book kedokteran, yang hanya bisa dimengerti orang-orang yang berkecimpung di dunia kesehatan. Saya ingin tulisan yang siapapun dapat memahaminya. Kurang lebih seperti tulisan-tulisan dokter Oz, dokter yang kerap tampil di acara Oprah Winfrey Show.

Tapi masalah utamanya adalah waktu. Kesibukan sebagai “dek koas” di rumah sakit sering tidak berpihak pada aktivitas menulis.

Oke, tadi hanya intermezzo tidak penting. Tulisan ini semacam fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan. Cukup banyak saya menemui hal-hal semacam ini. Dan saya akan mencoba sedikit meluruskan yang melenceng . tulisan ini merupakan bagian pertama. Harapannya, kelak saya tetap bisa konsisten menulis tentang hal lain.

  1. Menghentikan Perdarahan dengan Cara yang Benar
Ini berawal dari ketika saya jaga IGD pada hari Minggu yang tidak libur. Ada pasien datang, laki-laki, umur sekitar 20an, ia datang dengan keluhan luka sayat (Vulnus Scissum/VS) di jari-jari kaki. VS itu disebabkan oleh cutter yang ia pakai ketika bekerja. Panjang VSnya sekitar 3-5cm, dalam sekitar 0.3cm. VS tersebut perlu dijahit supaya penyembuhannya lebih cepat dan lebih baik.

Saya terkejut ketika pasien tersebut bercerita dia menyiramkan tiner untuk mengehentikan perdarahan yang keluar dari VS. Apa yang dilakukan benar-benar tidak tepat. Justru tiner itu bisa menyebabkan lukanya terkontaminasi oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam tiner. Dan saya yakin pasti perih sekali ketika luka itu terkena tiner. Inilah hal pertama yang akan saya bahas dalam fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan , tentang pertolongan pertama pada luka, sebelum di bawa ke rumah sakit.

Jika bicara tentang luka, hal pertama yang penting untuk diperhatikan adalah menilai luka tersebut. Umumnya luka dinilai dari dua hal ; dimensi (panjang, lebar dan kedalamannya) dan apakah termasuk luka bersih atau kotor.

Kita bicarakan cara pertolongan pertama menghentikan perdarahan yang tidak menggunakan obat-obatan. Caranya sederhana saja. Tekan daerah yang luka dengan kassa (jangan gunakan kapas atau tissue karena keduanya mudah menempel di luka dan sulit dibersihkan). Jika lukanya lebar, tekan daerah yang luka dengan kain bersih.

Tekanan tersebut akan membuat pembuluh darah ikut tertekan. Bayangkan saja pembuluh darah di tubuh manusia itu serupa selang air. Ketika selang itu ditekan, air tidak akan bisa mengalir keluar lewat selang, bukan? Tekanan pada pembuluh darah itu juga mengaktivasi agen-agen pembekuan darah untuk menyumpal lokasi yang berdarah.

Pada luka yang berdimensi kecil, cara tersebut bisa cepat menghentikan darah yang keluar. Tapi cara ini memang tidak langsung membuat perdarahan berhenti pada luka yang dimensinya lebih besar. Luka berdimensi besar perlu mendapat pertolongan lebih lanjut di puskesmas atau rumah sakit. Tapi setidaknya, dengan cara  tadi darah yang hilang bisa diminimalisir. Tentunya diminimalisir dengan cara yang tidak mengkontaminasi luka.

  1. Teh Pahit dan Diare
Hal kedua dari fenomena pengetahuan-sesat-dan-masih-diterapkan adalah teh pahit dan diare. Sepertinya sudah bukan hal yang asing ketika Anda diare dan ada orang yang menyarankan untuk minum teh pahit. Teh pahit dianggap bisa menghentikan diare.

Sebenarnya soal teh pahit itu tidak seratus persen salah, hanya kurang tepat. Teh pahit tidak menghentikan diare.

Diare adalah buang air besar dengan tinja cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari. Diare bisa menimbulkan kegawatan ketika terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan ketidakseimbangan elektrolit. Cairan dan elektrolit ikut terbuang bersama tinja cair tersebut. 

Apa sih elektrolit itu? Elektrolit adalah ion positif dan negatif dalam cairan tubuh. Keseimbangan elektrolit perlu dijaga supaya sel-sel dan organ-organ tubuh dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Penggantian cairan (rehidrasi) dan penggantian elektrolit amat penting dalam penanganan diare.  Jika penderita diare masih bisa minum (tidak muntah ketika minum), maka ia harus minum sampai kehilangan cairannya teratasi. Karena elektrolit juga hilang akibat diare, minuman yang diminum juga harus yang mengandung elektrolit.

Teh pahit sudah tentu tidak mengandung elektrolit, karena pada dasarnya kandungan teh pahit tidak jauh berbeda dengan air putih biasa. Jadi ia hanya merehidrasi tapi tidak menggantikan elektrolit yang hilang. Lebih baik minum minuman yang mengandung elektrolit seperti teh manis, oralit dan sebagainya.

Teh manis merupakan minuman yang dapat merehidrasi sekaligus mengganti kehilangan elektrolit. Gula yang larut dalam teh membuat teh tersebut jadi mempunyai kandungan elektrolit, karena gula pasir yang larut dalam teh mengandung elektrolit.

Oralit juga minuman yang dapat merehidrasi sekaligus mengganti kehilangan elektrolit. Oralit dapat dibuat sendiri di rumah. Pembuatannya pun cukup sederhana. Campurkan satu sendok teh garam dan delapan sendok teh gula dalam satu liter air. Satu liter air kurang lebih setara dengan lima gelas ukuran biasa.

Sekian. Semoga bisa dipahami dan semoga bermanfaat :)   

  

Kamis, 09 Agustus 2012

Mufsidûn


Mufsidûn

Mufsidûn ialah kata dalam bahasa Arab. Kata itu dapat dimaknai sebagai koruptor-koruptor kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan korupsi bukan pemandangan baru lagi bagi bangsa ini. Berita tentang pejabat-pejabat yang terjerat kasus korupsi marak menghiasi media massa. Lebih ironis lagi, hukum di negara ini benar-benar serupa panggung sandiwara. Mufsidûn tidak menerima hukuman yang semestinya. Banyak koruptor yang cepat bebas dari penjara karena ringannya vonis yang diberikan. Apalagi, tidak jarang mereka mendapat remisi.
Tak perlu dipungkiri lagi bahwa Islam menentang segala bentuk ketidakjujuran, termasuk korupsi. Kisah tentang Khalifah Umar yang mematikan lampu minyak ketika berbincang dengan anaknya adalah contoh nyata pemimpin yang menjaga diri dari tindakan korupsi. Umar sengaja mematikan lampu minyak di ruang kerjanya karena minyak dalam lampu dibeli dengan uang rakyat, sementara urusan dengan putranya bukanlah urusan negara. Walaupun Umar punya kuasa untuk menggunakan fasilitas-fasilitas sebagai khalifah, Umar tak ingin menyalahgunakan kekuasaannya. Umar tidak mau korupsi, sekalipun hanya korupsi kecil macam minyak di dalam lampu.
Ada teladan lain yang “lebih dekat” tentang bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Contoh teladan itu bernama Polisi Hoegeng. Hoegeng pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI (kini Kapolri) pada 1968-1971. Ketika Hoegeng baru saja pindah ke rumah dinasnya yang baru, Hoegeng sudah mendapatkan kiriman barang-barang mewah dari para cukong. Cukong-cukong itu hendak menyuap Hoegeng. Namun, dengan tegas Hoegeng menolak semuanya. Sama seperti Umar, Hoegeng tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Sikap Hoegeng itu amat istimewa di mata mendiang Gus Dur. Sampai-sampai Gus Dur pernah berseloroh soal tiga polisi jujur. Kata Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Polisi Hoegeng.
Cerita tentang Khalifah Umar dan Polisi Hoegeng memang “hanya” sebuah kisah. Namun, kisah itu sejalan dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang yang dipimpinnya.” Umar dan Hoegeng adalah realitas yang perlu dimaknai lebih mendalam.
Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam. Begitu bunyi pernyataan Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada cum intelektual muslim. Dalam buku Islam Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo memaparkan tentang perlunya pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam akan membuat orang Islam melihat realitas melalui Islam.
Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam karena -menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan- realitas itu tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Tetapi realitas dilihat melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada manusia. Misalnya di daerah Kejawen (dulu), orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Roro Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawi (raja adalah keturunan para nabi dan para dewa), tata cara sembah, warna paying, dan sebagainya.  
Karena manusia tak dapat melihat realitas secara langsung, pengilmuan Islam menjadi amat diperlukan. Dalam pengilmuan Islam, Islam sebagai teks (Al-Quran dan As-Sunnah) dihadapkan kepada realitas (baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah). Dari teks ke konteks.
Hadis Rasulullah (teks) di atas sangat tepat dihadapkan pada realitas Umar dan Hoegeng (konteks). Ajaran Islam adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Umar dan Hoegeng telah berhasil menentukan sikap berdasarkan salah satu nila universal dalam Islam.
Namun, nilai universal Islam tersebut belum menyentuh bangsa ini. Sebaliknya, korupsi merajalela dimana-mana. Apalagi sejak hubungan sentralistik pusat-daerah coba diredam lewat penerapan Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah lahir pasca tumbangnya Soeharto, sang penguasa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba yang sarat dominasi militer, dengan otoritarianismenya, telah menciptakan sentralisasi kekuasaan. Pemerintah pusat adalah segala-galanya. Wewenang pemerintah daerah amat terbatas untuk menentukan kebijakannya sendiri, untuk menetapkan kebijakan yang ia anggap paling baik bagi daerahnya. Setelah Orba runtuh, sentralisasi kekuasaan tersebut coba direduksi dengan kebijakan Otonomi Daerah.   
Sayang, lahirnya Otonomi Daerah ikut melahrikan banyak Mufsidûn. Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi di pusat, pasca Otonomi, korupsi ikut tumbuh subur di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat.  
Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat berita seputar korupsi di daerah. Rubrik Politik majalah itu memberitakan korupsi yang dilakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Merujuk dari Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur dan 540 kabupaten dan kota.
Sudah pasti, banyaknya Mufsidûn berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat. Penguasa yang memanfaatkan kuasanya untuk korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada petani yang sejahtera ketika subsidi pengadaan benih dikorupsi. Gedung sekolah yang bobrok tidak mungkin diperbaiki ketika dana perbaikannya masuk ke kantong para koruptor. Kualitas pendidikan makin terpuruk sebab dana pengadaan buku dikorupsi oleh bupati. Pengusaha kecil sulit maju ketika bantuan modal yang sampai ke tangan mereka telah disunat. Buruh menderita Pneumonia sampai mati akibat tidak mampu berobat, karena jaminan kesehatan yang menjadi haknya tak kunjung ia dapatkan.
Kalau sudah begini, kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis. Selalu, selalu dan selalu rakyat yang jadi korban. Mufsidûn dan korupsinya ialah potret buram dari bahaya politik Otonomi Daerah!     

* Pertama kali dimuat dalam editorial majalah mahasiswa HIMMAH Edisi No. 1/Thn. XLV/2012

Minggu, 24 Juni 2012

Enam Tahun Melawan dalam Cemas


Enam Tahun Melawan dalam Cemas

(Prolog : ini semacam penelitian kualitatif yang sangat kecil-kecilan tentang kecemasan warga pesisir Kulon Progo terhadap rencana penambangan pasir besi. Tulisan ini merupakan salah satu tugas untuk Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat, kami dibebaskan mengambil tema papun yang berhubungan dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saya punya alasan yang sangat subyektif ketika memilih tema tentang kecemasan masyarakat pesisir Kulon Progo, saya ingin isu tambang besi Kulon Progo ini mendapat perhatin dari banyak pihak. Alasan pertama, saya berasal dari keluarga keluarga petani, ini semacam "solidaritas". Semenjak papa pensiun dari pekerjaannya, hasil pertanian menjadi salah satu yang kami andalkan sebagai pendapatan keluarga. Anggaplah saya bisa mengerti betapa berartinya tanah bagi petani. Alasan kedua, saya ingin tahu bagaimana kondisi kejiwaan orang-orang yang hidup di wilayah yang potensi konfliknya begitu besar seperti pesisir Kulon Progo saat ini. Saya akui ini bukan hasil penelitian cum tulisan yang baik, analisa dan pembahasannya masih sangat dangkal. Hanya satu minggu waktu yang diberikan untuk mengerjakan penelitian ini, mulai dari perizinan sampai penulisan laporan. Itu memang apologi saya, tapi saya tetap mengakui ini bukan tulisan yang baik dan tidak meminta pemakluman. Sebab penulis yang baik pasti bisa menhghasilkan tulisan yang baik, bagaimanapun kondisinya. Dan saya belum tergolong penulis yang baik. Dalam publikasi di blog ini, semua nama narasumber saya samarkan. Saya berkata tulisan ini untuk keperluan tugas dari kampus ketika menemui para narasumebr, saya tidak mengatakan untuk dipublikasikan. Sekalipun ini cuma publikasi di blog pribadi, dengan alsan etika, saya menyamarkan semua nama narasumber.) 

Proses perizinan penambangan pasir besi di Kulon Progo terus berlangsung. Warga yang menolak pun tetap melawan. Dalam perlawanan mereka merasakan kecemasan. Dan semua itu sudah berlangsung selama enam tahun...

Sudah sekitar enam tahun Kulon Progo bergejolak akibat rencana penambangan pasir besi. Kulon Progo ialah satu dari empat kabupaten di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Kabupaten ini memiliki luas wilayah 58.627,5 Ha. Kulon Progo memiliki sebelas kecamatan dengan beragam potensi, mulai dari pariwisata, pertanian peternakan, hingga perikanan. Beberapa tahun lalu, ditemukan potensi pertambangan karena kandungan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Rencana penambangan pasir besi inilah yang memicu pergolakan, sebab warga pesisir menolak rencana penambangan itu.
 Februari 2006, Australia Kimberly Diamond (AKD) dan Jogja Magasa Mining (JMM) melakukan eksplorasi pasir besi di seribu lokasi.  Pada 2008, seiring setelah AKD merubah namanya menjadi Indo Mines Ltd pada 2006, dan bikin perusahaan patungan bersama JMM dengan nama Jogja Mgasa Iron (JMI), Kontrak Karya antara JMI dan Pemerintah Indonesia diteken. Jogja Magasa Mining adalah perusahaan lokal yang menjadikan GKR Pembayun, putri tertua Sultan Hamengku Buwono (HB) X, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Penambangan akan dilakukan di lahan pesisir seluas 22 km x 1,8 km. Lahan seluas itu merupakan wilayah tambang PT. JMI. Penambangan akan dilakukan di tanah pesisir yang terdiri dari : tanah warga, Tanah Pakualaman (Tanah PA), tanah merah (tanah yang digunakan untuk bertani tetapi tidak jelas kepemilikannya) dan wedi kengser (tanah yang dulunya laut).  
Sengketa tanah amat rentan terjadi pada proyek penambangan ini. Warga menolak tanahnya ditambang oleh PT. JMI. Belum lagi status kepemilikan tanah merah yang rancu. Tanah merah dinyatakan sebagai tanah negara oleh petani, tapi juga diklaim sebagai Tanah Magersari oleh Pakualaman. Tanah Magersari adalah tanah yang tak berlandaskan sertifikat, melainkan surat kekancingan dari pihak kraton yang menunjukkan bahwa tanah warga tersebut adalah Tanah Sultan atau Tanah Pakualaman. Tanah merah kenyataannya memang tak bersertifikat, tapi lahan yang tak diurus negara itu juga tak bersurat kekancingan.
Masyarakat pesisir dengan tegas menolak rencana penambangan. Masyarakat pesisir Kulon Progo mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Penambangan itu bisa menggusur tempat tinggal mereka, juga menggusur lahan pantai yang selama ini mereka tanami. Mereka pun mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai wadah penolakan mereka terhadap  rencana penambangan.
1 April 2006, PPLP resmi berdiri. Sudah enam tahun ini mereka terus melawan. Mereka konsisten menolak rencana penambangan. Perlawanan mereka menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal berarti mereka berhadapan dengan perusahaan tambang, pemilik modal asing, kraton dan negara. Konflik horizontal terjadi antar warga yang menolak penambangan dengan warga yang pro penambangan.
Ditengah-tengah sengketa lahan dan potensi konflik yang luar biasa, PPLP juga pernah mengalami teror, intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kecemasan pun dirasakan warga peisisir, khususnya pengurus PPLP. Selain kecemasan akan kehilangan lahan, pengurus PPLP punya tanggung jawab mengatur massa PPLP yang berjumlah puluhan ribu. Itu menjadi “kecemasan tambahan” bagi mereka.

***
Siang itu (Senin, 2 April 2012) saya berdiskusi dengan K dan F, mereka berdua pegiat di Solidaritas Tolak Tambang Besi (STTB). Kami mengobrol di teras rumah kontrakan milik George Yunus Aditjondro, ilmuwan sosial yang sempat menggegerkan dengan bukunya, Membongkar Gurita Cikeas. George mengontrak sebuah rumah di daerah Mrican, dekat Kampus II Universitas Sanata Dharma. George tidak tinggal di sini. Rumah itu hanya digunakan untuk menyimpan buku-buku milik George yang jumlahnya luar biasa banyak. Para pegiat STTB sering memanfaatkan rumah ini sebagai tempat berkumpul.
STTB kerap mendampingi petani-petani Kulon Progo terkait permasalahan tambang pasir besi. K mengatakan, rencana penambangan itu membuat warga menjadi amat waspada kepada orang luar, tidak terkecuali peneliti yang hendak bikin penelitian di sana. Warga takut penelitian atau apapun yang dilakukan orang luar akan digunakan untuk memuluskan rencana penambangan. Kekhawatiran warga amat beralasan. Penambangan itu bisa menggusur tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini.
“Coba kamu masuk ke sana lewat Pak Kr saja. Beliau orangnya terbuka,” kata K. Pak Kr adalah salah satu pengurus PPLP yang tinggal di Desa Bugel. Pak Kr juga pernah membantu K ketika dia melakukan riset di Kulon Progo untuk kepentingan tesisnya.
F memberikan nomor telepon genggam Pak Kr kepada saya. Saat itu juga saya menghubungi Pak Kr. “Bilang kalau kamu temannya K,” kata K menyarankan. Strategi itu berhasil. Pak Kr bersedia menemui saya.   
Ketika sore menjelang, kami terpaksa menyudahi diskusi tentang penambangan pasir. K dan F harus menjemput teman mereka -sesama pegiat STTB- di terminal. Saya pun berpamitan pada mereka berdua. Sebelum pergi, K mengingatkan saya untuk berhati-hati. Jangan masuk lewat “pintu” yang salah.
Saya bersyukur cuaca hari Selasa 3 April 2012 amat bersahabat. Langit cerah, tidak ada awan mendung yang bergantung. Cerahnya hari membuat saya merasa nyaman menempuh perjalanan menuju pesisir Kulon Progo. Dari tempat tinggal saya di Jalan Kaliurang Km 14,5, perjalanan itu memakan waktu satu jam lebih. F bersedia menemani saya ke Kulon Progo.
Sempat mengalami insiden ban motor yang bocor, sekitar jam 14.00 WIB saya sampai di rumah Pak Kr. Pak Kr sudah menunggu kedatangan saya. Kami berbincang di teras rumahnya, duduk di kursi bambu.
Pak Kr lelaki paruh baya berwajah ramah. Rambutnya sudah memutih di beberapa tempat. Saat itu ia mengenakan kemeja batik. Pak Kr mulai bercerita tentang latar belakang masyarakat pesisir. Ia mengatakan, dulu masyarakat pesisir sangat miskin. Lahan pesisir yang merupakan lahan kritis tidak mendatangkan banyak kemakmuran. Lahan kritis hanya bisa ditanami tanaman seperti kentang dan ketela muntul (ubi jalar). Kondisi lahan yang tidak subur membuat masyarakat pesisir banyak yang merantau ke luar daerah. Di sana mereka jadi buruh. Ada juga yang menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri.
Namun, segalanya berubah pada tahun 1985. Ketika itu ada kemajuan teknologi untuk menggarap lahan kritis. Ada penemuan untuk mengatasi itu, yaitu dengan membuat pola penyiraman. Di lahan, sumur-sumur pun mulai dibuat. “Mulanya hanya sumur yang pakai bambu. Tapi itu berkembang terus,” kata Pak Kr.
Sekarang ini pola penyiraman sudah makin berkembang sejak petani mulai menggunakan pompa air. Tanaman di lahan kritis perlu disirami dua kali sehari karena kondisi tanah yang permeabilitasnya tinggi. Permeabilitas tinggi itu membuat air jadi cepat diserap tanpa mengendap.
Sejak penemuan teknologi itu, petani lahan pantai Kulon Progo mulai merasakan kemakmuran. Lahan pantai bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Mulai dari cabai, melon, semangka, terong, tomat, dan lain-lain. Warga pun tidak lagi menjadi buruh di luar daerah. Mereka pulang kampung dan menggarap lahan pantai. Lahan pantai sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup.
“Nah itu. Tetapi tiba-tiba setelah kita merasakan kenikmatan hidup dari hasil pertanian, tiba-tiba pemerintah mau menggusur, mau menambang lahan yg kami kelola.”
Saya dapat melihat dengan jelas kemakmuran yang dikatakan Pak Kr. Sepanjang perjalanan ke Desa Bugel, saya melihat rumah-rumah yang sudah permanen, walaupun masih ada sebagian kecil yang berdinding bata. Jumlah rumah yang berdinding anyaman bambu dapat dihitung dengan jari. Ini pemandangan yang kontras dengan desa tempat saya menjalani pendidikan klinik stase Ilmu Kesehatan Masyarakat di Desa Jono, Kecamatan Tanon, Sragen. Di Jono banyak rumah yang masih berdinding anyaman bambu atau kayu. Lantainya juga masih tanah. Padahal Desa Jono dan Desa Bugel sama-sama desa agraris. Saya berani mengatakan warga Bugel jauh lebih makmur daripada Jono.
Kendaraan roda dua pun menjadi alat transportasi yang lumrah dimiliki masyarakat pesisir. Sepanjang perjalanan, saya banyak menjumpai petani pergi ke lahan dengan sepeda motor. Pak Kr sendiri memiliki lebih dari satu sepeda motor.
Pertanian tidak hanya mendatangkan kemakmuran. Penyakit mata yang dulu sering menyerang warga pun lenyap. Apa pasal? Ternyata di sini penyakit mata amat berkaitan dengan lahan yang terbuka, banyak debu yang terhembus angin. Terutama ketika musim kemarau datang, angin bertiup sangat kencang. Setelah lahan bisa ditanami, debu-debu pun tidak banyak lagi yang berterbangan.  
“Dulu kalau setiap musim kemarau pasti ada penyakit mata. Tapi sekarang ini sudah nggak muncul lagi penyakit mata. Ya kadang-kadang ada yang kena belekan itu, tapi kan tidak semuanya kena, mungkin cuma satu-dua,“ ujar Pak Kr, “Lha… dulu hampir semuanya kena penyakit mata. Luar biasa penyakit mata itu. Sampai kalau pagi itu mau membuka kelopak mata saja sulit. Blobok itu keluar, sampai lengket dan mengunci kelopak mata. Itu saya mengalami waktu masih kecil. Dan itu dirasakan oleh hampir semua orang.”
Pak kr mengatakan, warga di sini juga cemas potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat penambangan. Mereka juga khawatir gumuk-gumuk (bukit-bukit) pasir akan hilang akibat penambangan. Gumuk pasir itu terbentuk secara alami akibat pasir yang terbawa tiupan angin. Warga percaya gumuk pasir bisa menahan gelombang jika terjadi tsunami. “(Beberapa tahun  lalu) waktu tsunami di pangandaran itu, gelombang air laut di sini kan juga naik. Tapi itu tidak terlalu membahayakan karena masih ada gumuk-gumuk pasir. Di sana (Pangandaran) katanya sudah merata gitu…”
Pak Kr mengaku mengalami kecemasan selama enam tahun ini, sejak rencana penambangan pasir besi santer berdengung. Sering ia merasa sakit perut ketika pikirannya merasa tidak tenang. “Itu yang sering saya alami. Kalau pikiran tidak tenang, akhirnya perut yang terasa”.
 Kecemasan yang dialami Pak Kr bukan hanya karena cemas kehilangan tanah akibat penambangan. Sebagai pengurus PPLP, ia sering merasa cemas ketika “tensi” masyarakat meninggi. “Saya sempat nggak bisa tidur… Saya berusaha supaya masyarakat tensinya tidak terlalu tinggi, supaya kecurigaan masyarakat juga tidak terlalu tinggi pada orang luar. Pada mobil berplat merah terutama. “
“Dulu pernah ada orang-orang bermobil yang memotret-motret di lahan. Akhirnya mobil itu dirusak oleh massa. Saya merasa cemas juga, sempat tidak bisa tidur. Karena sebagai orang yang dituakan, tanggung jawabnya berat,” ujar Pak Kr.
Pak Kr memberi arahan pada saya untuk bertemu Bu S, atau yang biasa disapa Bu Tj. Bu S memang istri Pak Tj. Pak Tj adalah petani yang dikriminalkan karena menolak penambangan. Pak Tj terkenal berani dan vokal. Menurut buku Catatan Akhir Tahun 2010 Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dulu Pak Tukijo sering menerima teror melalui pesan singkat di ponselnya.
Pada 1 Mei 2011, Pak Tj ditahan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenagkan. Pak Kr menilai ada yang ganjil dari kasus Pak Tj. “Hakim memvonis tiga tahun. Padahal tuntutan jaksa hanya dua tahun. Padahal kan kasus Pak Tj hanya perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak tahu ini kok sampai 3 tahun. Sedangkan yang berbuat anarkis di Cikeusik itu (terhadap Jemaat Ahmadiyah) vonisnya hanya beberapa bulan. Padahal di sana sampai ada yang meninggal, tapi vonisnya hanya 4 bulan, 6 bulan,” ujar Pak Kr.
“Kalau yang lain kan kecemasannya ya kecemasan-kecemasan yang juga dirasakan oleh semua (kecemasan akibat penambangan). Kecemasan keluarga Pak Tj lain. Karena (kecemasan) mereka jelas dikaitkan dengan hukum, to. Orang tidak bersalah kok dihukum. Itu kan jadi luar biasa.” 
Tanpa terasa, kami sudah mengobrol selama lebih dari tiga jam. Saya pun berpamitan pada Pak Kr. Sebelum saya pulang, Pak Kr mengajak saya melihat lahannya. Jarak dari rumah ke lahan hanya sekitar setengah kilometer. Sekarang sedang musim tanam cabai. Lahan Pak Kr juga sedang ditanami cabai. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan hamparan lahan pasir yang terbentang luas. Lahan-lahan itu tampak menghijau akibat pohon-pohon cabai yang sedang tumbuh.
Saya takjub melihat pohon-pohon cabai yang tumbuh subur di tanah pasir. Ini pertama kalinya saya menyaksikan cabai yang ditanam di lahan pasir.
Sebelum menanam cabai, petani-petani di sini baru saja panen semangka. Saya masih menemukan buah-buah semangka kering yang tergeletak begitu saja di lahan. “Sisa panen kemarin,” kata Pak Kr.
Lahan Pak Kr berjarak sangat dekat dari bibir pantai. “Cuma sekitar seratus meter dari pantai,” ujar Pak Kr. Dari lahan Pak Kr, birunya lautan dapat terlihat dengan jelas. Pemandangan yang luar biasa! 
***
Rabu, 4 April 2012. F kembali menemani saya ke Kulon Progo. Siang itu kami menuju ke rumah Bu Tj. Rumahnya berjarak dua kilometer dari rumah Pak Kr.
Kami sempat kebingungan menemukan rumah Bu Tj. Setelah bertanya pada perempuan yang menggendong anak kecil, akhirnya kami sampai di rumah Bu Tj. Rumahnya berdinding bata merah.
Saat itu di rumah hanya ada Ks, menantu Bu Tj. Ks sedang menyuapi anaknya yang berusia tujuh bulan. Bu Tj sedang tidak di rumah, ia masih di lahan.
Akhirnya Bu Tj datang setelah kami menunggu cukup lama. Saya menyampaikan maksud kedatangan saya. Namun, Bu Tj menolak diwawancarai. Bu Tj hanya berkata, “sudah ketemu Pak Kr kan, Mbak? Ya sama. Yang saya rasakan juga sama seperti yang dirasakan Pak Kr,” kata Bu Tj.
Saya pun mohon diri. Saya lalu memutuskan menemui Mas Wd, petani yang juga pengurus PPLP. Di perjalanan menuju rumah Mas Wd, F banyak bercerita pada saya. Keluarga Pak Tj memang sulit terbuka pada orang asing. Kasus hukum yang menjerat Pak Tj membuat keluarga itu pernah mengalami penipuan. Beberapa kali mereka dijanjikan bahwa Pak Tukijo bisa bebas asal mereka membayar sejumlah uang. Namun, janji-janji itu tak pernah terbukti…
Mas Wd sedang duduk di teras rumah ketika kami datang. Kami lalu berbincang-bincang di ruang tamu rumahnya.
Mas Wd mengatakan, ia sering merasakan perutnya sakit, asam lambungnya naik jika PPLP akan mengadakan event atau aksi. Event dan aksi yang diadakan PPLP selalu dijaga ketat oleh polisi, bahkan kadang tentara. Ia cemas bentrokan bisa terjadi. “Sering susah tidur juga kalau mau ada aksi,” kata Mas Wd menambahkan.
“Apa yang paling bikin cemas dari rencana penambangan ini?” tanya saya.
“Yang paling mencemaskan ya menggusur kehidupanku. Nanti aku hidup dimana? Itu yang paling bikin cemas,” jawab Mas Wd.
Mas Wd mersakan beban berat sebagai pengurus PPLP. “Ya pasti beban to. Gimana nggak? Ya namanya mengatur ribuan orang. Tiap kepala isinya nggak ada yg sama. Dan kita untuk menyamakan persepsi itu kan juga susah.
Ini sudah masuk tahun ketujuh. Sudah lama lho itu. Kalau ini bukan betul-betul perjuangan akar rumput ya sudah hancur itu. Dengan iming-iming uang yang segitu banyaknya dan kita sendiri kan betul-betul harus jeli untuk melihat sesuatu, baik di dalam PPLP maupun di luar PPLP. Seperti bagaimana dengan situasi, apa yang harus kita lakukan. Betul-betul harus bisa mengolah. Makanya kadang-kadang kayak yang aku katakan tadi, kalau pikiran berat itu terus larinya ke perut.  Asam lambung naik. Jelas kurang istirahat juga. Selama (hampir) tujuh tahun itu kerap mengalami itu setiap mau ada acara yang di situ berpotensi akan timbul konflik. Harus memikirkan bagaimana caranya meredam konflik, kalau misalnya terjadi konflik, nanti pasca konflik itu akan gimana.”
Mas Wd menambahkan, tidak semua orang bisa menghadapi keadaan seperti itu. “Betul-betul butuh keberanian untuk mengambil sebuah keputusan,” ujarnya.
Besarnya potensi konflik yang mungkin muncul juga menjadi beban tersendiri bagi Mas Wd. Meskipun warga yang pro tambang tidak banyak jumlahnya, timbul kerentanan terjadi gesekan antara warga yang pro tambang dengan warga yang menolak tambang. Mas Wd menceritakan kejadian di Desa Karangwuni. “Di Karangwuni itu kan kemarin ada orang mati. Itu katakanlah anaknya kerja di tambang.  Tetangganya nggak ada yang hadir melayat. Biarpun cuma tetangga sebelah rumah pun nggak datang. Sampai segitunya itu lho. Lha itu yang layat cuma orang-orang jauh. Keluarganya sendiri kalau masih tetangga pun nggak datang. Karena takut juga to. Itu kan hukum sosial. Ketika orang itu datang melayat ke situ, ya dia (dianggap) ikut pro.“
***
Kamis itu (5 April 2012) saya menemui teman saya, ISN, yang bekerja di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. ISN menunjukkan pers rilis keluaran LBH Yogyakarta terkait penolakan warga terhadap penyusunan AMDAL bagi penambangan bijih besi di Kulon Progo.
Amdal atau analisis mengenai dampak lingkungnan adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. Sedangkan pengertian dari dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Lingkungan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik maupun biologi, tetapi juga aspek sosial-ekonomi-budaya dari manusia yang tinggal di wilayah tersebut.
“Proses penyusunan Amdal masih berjalan. Padahal warga menolak,” kata ISN. Selain itu, rencana penambangan ini rentan mencederai hak warga atas kepemilikan tanah. “Konflik lahan pasti terjadi. Lahan yang mau ditambang itu kan terdiri dari tanah merah (tanah negara), tanah Pakualaman dan tanah warga sendiri. Masih ada konflik terkait batas-batas tanah yang tidak jelas.”

***
Saya juga menemui AC. Ia mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. AC teman saya yang pernah mengumpulkan data-data pelanggaran HAM di Kulon Progo. Data itu ia kumpulkan untuk menyusun laporan yang ditujukan pada Human Right Watch.
Tidak seperti saya yang ditolak saat hendak mewawancarai Bu Tj, AC berhasil mewawancarai Bu Tj. “Tampak sekali kecemasan pada Bu Tj. Tulang punggung keluarganya ditahan. Waktu aku bertanya soal ekonomi keluarga, bu Tj menjawab kalau ekonomi keluarga jadi morat-marti,” kata AC.
AC menjelaskan tentang teori konflik dalam kaitannya dengan konflik vertikal dan horizontal di Kulon Progo. “Teori konflik yang paling mendasar ialah membiarkan konflik itu terjadi, dan konflik itu akan terus berkembang.” Menurut AC, konflik horizontal lah yang justru akan makin berkembang. “Sekalipun tambang batal, konflik horizontal itu akan tetap ada. Sebab orang-orang yang pro tambang pasti kan mengharapkan sesuatu (dari penambangan pasir besi). Mereka pasti sakit hati kalau tambang batal. Dan mereka jadi marah pada warga yang menolak penambangan. Sebab tambang jadi batal gara-gara warga yang menolak,” katanya melanjutkan.
AC juga datang ketika PPLP merayakn ulang tahun yang keenam tanggal 1 April lalu. Ia bercerita pada saya tentang perayaan ulang tahun kemarin. “Ulang tahun PPLP yang terakhir kemarin banyak muatan religiusnya. Malam pengajian, siang juga pengajian lagi. Di satu sisi, pengajian itu bisa meredam kecemasan, di sisi lain itu juga bisa memberikan optimisme bahwa perjuangan mereka akan dibantu oleh kekuatan-kekuatan transendental (Tuhan)…”     

***
Kondisi Kejiwaan
Konflik itu sudah berjalan selama enam tahun, kini memasuki tahun ketujuh. Warga merasa cemas akibat rencana penambangan yang bakal membuat mereka kehilangan lahan, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan menciptakan konflik-konflik antar sesama warga. Ini jelas bukan permasalahan sederhana. Semua terlibat, mulai dari negara, pemodal asing, sultan, kraton, aparat kemanan, dan warga pesisir Kulon Progo.
Kecemasan yang dialami Pak Kr dan Mas Wd menimbulkan gejala-gejala otonomik seperti gangguan lambung ringan dan sulit tidur. Ketika mewawancarai Pak Kr, beliau juga bercerita tentang pengurus PPLP bernama Pak Sd yang tinggal di Desa Karangwuni. Pak Sd sering tidak bisa tidur sehabis rapat PPLP. “Pak Sd sampai stress, kagol, cemas, bahkan pernah sampai menyiapkan senjata,” kata Pak Kr.
Dalam buku Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri, kecemasan didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut.
Masih menurut buku tadi, sensasi kecemasan sering dirasakan oleh hampir semua orang. Perasaan cemas ditandai dengan rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada dan gangguan lambung ringan.
Saya sepakat dengan AC yang mengatakan bahwa muatan religius (berupa pengajian) saat ulang tahun PPLP kemarin bisa meredam kecemasan. Sekiranya warga Kulon Progo perlu bersama-sama meningkatkan keterlibatan aktivitas religius untuk meredam kecemasan.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran jiwa, aktivitas religius mempunyai peranan besar untuk menunjang kesehatan mental seseorang. Contohnya dalam jurnal Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study. Dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya keterlibatan aktivitas religius sebagai faktor risiko bunuh diri di Bali. 
 
Daftar Pustaka

Kaplan dan Cadock. 1997. Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara, Jakarta

Kurihara dkk. 2009. Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study.
BMC Public Health 2009, 9:327 doi:10.1186/1471-2458/9/327

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 2010. Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Yogyakarta

Majalah Natas. Tahun terbit 2010

(Epilog : Ada yang menarik ketika saya mempresentasikan laporan ini ke dua orang dosen penguji di kampus. Salah seorang dosen penguji berkomentar, masalah penolakan ini juga berkaitan dengan harga diri para petani di sana. Harga diri para petani ikut tercederai karena rencana penambangan pasir besi. Keberhasilan mereka menciptakan teknik bercocok tanam yang membuat lahan kritis bisa ditanami akan diobrak-abrik akibat tambang besi. Kurang lebih dosen saya bilang, "penolakan tambang itu juga soal harga diri. Usaha keras mengubah lahan kritis jadi bisa ditanami akan hancur kalau penambangan jadi dilakukan. Itu kan semacam melukai harga diri petani.")