Dalam
Pencarian Keadilan
Judul buku :
Indonesia X - Files
Penulis : dr.
Abdul Mun’im Idries, SpF
Penerbit : Noura
Book
Tebal halaman :
334 halaman
Tahun terbit :
2013
Selama ini ilmu kedokteran
forensik sering dipandang sebelah mata karena ia tidak bertujuan kuratif
(menyembuhkan). Namun, melalui buku ini, dokter Mun’im membuktikan bahwa ilmu
kedokteran forensik tidak kalah jasanya dibandingkan ilmu kedokteran lain yang
bertujuan kuratif. Buku ini membongkar fakta-fakta dibalik kasus-kasus kriminal
dan kejahatan besar di negeri ini. Beberapa diantaranya adalah pembunuhan Munir
sang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), tragedi Mei 1998, kasus kematian aktivis
buruh Marsinah, hingga pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret nama mantan
ketua Komis Pemberantasan Korupis (KPK), Antasari Azhar.
Tidak semua tulisan dalam buku
yang terdiri atas enam bab ini mengungkapkan fakta-fakta dibalik sebuah kasus
kejahatan. Ada tulisan-tulisan yang sifatnya sekadar memberi informasi mengenai
apa yang harus dilakukan supaya suatu kasus kejahatan dapat terungkap. Juga ada
tulisan-tulisan yang hanya menerangkan bagaimana cara kerja ilmu kedokteran
forensik dalam penegakan hukum dan keadilan (Bab 5 : Kedokteran Forensik Sebagai
“Pisau Ilmiah”). Sebagian besar tulisan dalam buku ini ditulis oleh dokter
Mun’im. Ada pula tulisan yang memuat ulang tulisan-tulisan yang pernah terbit
di media massa.
Indonesia
X - Files
menggambarkan seberapa besar keseriusan (atau ketidakseriusan?) pemerintah
dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan, terutama kasus pelanggaran HAM. Berikut
beberapa fakta dibalik kasus-kasus kejahatan besar yang saya kutip dari buku
ini. Beberapa diantaranya belum pernah saya temukan di media massa manapun.
1. Tragedi
Trisakti, Mei 1998
Menurut saya, tulisan ini sangat
menarik karena deskripsinya yang detail. Keterlibatan langsung dokter Mun’im
dalam kasus ini membuat ia mampu memberikan deskripsi dengan detail yang baik. Ia
adalah dokter yang memeriksa jenzah-jenazah mahasiswa Trisakti yang jadi korban
penembakan.
Malam itu, dalam perjalanan
pulang seusai praktek, dokter Mun’im mendapat telepon dari Idham Aziz (Kasat
Serese Polres Metro Jakarta Barat saat itu). Aziz memintanya melakukan
pemeriksaan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang tewas akibat penembakan di
Trisakti. Ada empat jenazah korban di RS Sumber Waras.
Dokter Mun’im memeriksa empat
jenazah mahasiswa Trisakti selama sekitar sembilan puluh menit. Masing-masing
korban mendapat luka tembak di area yang mematikan, bukan di area yang hanya
akan melumpuhkan korban. Ini dapat dilihat dari lokasi luka tembak yang
mengenai bagian mematikan tubuh seperti di daerah dahi dan tembus ke daerah
belakang kepala, di daerah leher, di daerah punggung dan ada yang di daerah
dada.
Dokter Mun’im juga menceritakan
bagaimana Surat Permintaan Visum et Repertum (SPVR) yang tidak lazim. Dokter
Mun’im dikirimi SPVR sejumlah enam surat, padahal korbannya hanya empat, dan
yang lebih aneh lagi, tidak ada identitas dari para korban. Hanya tertera tanda
tangan penyidik. Seharusnya pada formulir SPVR tercantum keterangan mengenai
identitas korban, bukan “blangko kosong yang ditandatangani penyidik”. Ia lalu
menghubungi pihak Polres Jakarta Barat untuk meminta penjelasan.
Petugas Polres Jakarta Barat yang
dihubungi meminta maaf pada dokter Mun’im karena pihaknya tidak tahu berapa
korban yang tewas dan juga tidak tahu nama para korban. Mereka juga meminta
dokter Mun’im mengisi sendiri formulir SPVR tersebut. Dalam tulisannya, dokter
Mun’im mengaku bahwa ini adalah pengalaman yang sangat unik selama berkarir di
bidang ilmu kedokteran forensik. Situasi genting di Jakarta membuat beberapa
hal tidak berjalan sesuai kelaziman.
Setelah dokter Mun’im selesai,
Hamami Nata, Kapolda Metro Jaya saat itu, ingin bertemu dengan dokter Mun’im.
Dokter Mun’im lalu diantar ke Polda. Percakapan dokter Mun’im dan Hamami Nata
mengindikasikan ada pihak lain yang “bermain” dibalik penembakan para mahasiswa.
Berikut kutipan kata-kata Hamami Nata :
Pak Hamami Nata tampak termangu-mangu, pandangannya menerawang dan
dengan nada kecewa beliau berkata perlahan dan sesekali mata beliau
memperhatikan bagian mantel atau jaket dari proyektil yang berwarna kuning
tembaga.
“Saya
sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan
peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa hanya dibekali peluru
karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru
ini?”
Beliau
tidak hanya sekali saja mengatakan hal tersebut, tetapi berulang kali… Bukan
baru pertama kali saya berjumpa dengan beliau, jadi sedikit banyak saya
mengetahui siapa beliau. “Wah, si Bos digado nih,” saya berkata dalam hati setelah
perjumpaan yang baru saja usai. Digado
dalam bahasa betawi berarti sama dengan dikerjain.
2. Menjadi
Saksi Ahli dan Kejanggalan-Kejanggalan pada Kasus Marsinah
Kematian Marsinah, aktivis buruh
PT Catur Putra Surya (CPS) akibat pembunuhan sadis, menjadi salah satu kasus
paling kontroversial yang pernah ditangani dokter Mun’im. Kala itu, Marsinah
menjadi ikon gerakan buruh yang berpengaruh luas. Kematian Marsinah dikaitkan
dengan adanya konspirasi untuk membendung arus gerakan buruh. Dalam tulisannya,
dokter Mun’im menyatakan bahwa ada sebagian analisa yang menduga keras
keterlibatan oknum TNI AD yang tidak pernah tersentuh hukum, analisa itu tak pernah
muncul ke permukaan.
Berawal dari telepon Trimoelja D.
Soerjadi, seorang pengacara di Surabaya yang meminta dokter Mun’im menjadi
saksi ahli yang meringankan untuk kliennya, Judi Susanto, pimpinan PT. CPS yang
dianggap sebagai “otak” pembunuhan Marsinah. Merasa permintaan tersebut sebagai
salah satu tuntutan profesi, dokter Mun’im pun menyanggupi.
Kesediaan dokter Mun’im menjadi
saksi ahli yang meringankan menuai kontroversi di antara koleganya sendiri.
Waktu itu, rezim Presiden Suharto sedang kuat-kuatnya. Rekan-rekannya
mengkhawatirkan keselamatan dokter Mun’im. “Kamu gila, nekat, ngelawan arus, hati-hati nyawa bisa
melayang,” kata salah seorang rekannya memperingatkan.
Beberapa hari setelah dokter Mun’im
menyanggupi jadi saksi ahli, Trimoelja datang kepadanya dengan membawa
berkas-berkas yang dibutuhkan, termasuk dua keterangan Visum et Repertum (VR)
dari RSUD Nganjuk dan dari Instalasi Kedokteran Kehakiman RS dr. Soetomo.
Ada beberapa kejanggalan dalam
dua VR itu. Pada tubuh Marsinah, didapatkan tulang kemaluan kiri patah
berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan tengah patah
seluruhnya, labia minora kiri robek
dan terdapat serpihan tulang. Dalam VR pertama, pada bagian kesimpulan disebutkan
bahwa korban meninggal dunia akibat perdarahan pada rongga perut. Padahal,
menurut dokter Mun’im, keterangan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah
penyebab kematian (tusukan, tembakan, cekikan dan sebagainya) bukan mekanisme
kematian (perdarahan, mati lemas, syok dan sebagainya). Berbeda dengan penyebab
kematian, mekanisme kematian tidak dapat memberi petunjuk tentang alat atau
benda yang menyebabkan korban tewas.
Kejanggalan juga ditemukan pada
VR kedua. Pada bagian kesimpulan disebutkan bahwa : ditemukan resapan darah di daerah belakang pelipis kanan sebagai akibat
persentuhan dengan benda tumpul dan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan,
dan tulang kelangkang sebagai akibat kekerasan dengan benda tumpul.
Kelaziman dalam pembuatan kesimpulan VR, yang dicantumkan adalah jenis
kekerasan, bukan jenis bendanya. Jenis kekerasan meliputi kekerasan tajam,
kekerasan tumpul dan senjata api.
Kapak jelas termasuk benda tajam.
Tetapi jika seseorang dipukul dengan bagian punggung atau belakang kapak,
cedera yang ditemukan memberi gambaran kekerasan tumpul, berbeda dengan cedera
yang diakibatkan bagian kapak yang tajam. Bagian tersebut akan menimbulkan luka
terbuka akibat kekerasan tajam.
Sedikit penjelasan dari saya, VR
terdiri atas lima bagian : projustitia, pendahuluan, pemberitaan, kesimpulan
dan penutup. Bagian kesimpulan memuat identitas korban, kelainan pada korban,
hubungan sebab akibat dan kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan, sebab dan
saat kematian korban. Kekuatan atau daya bukti VR terletak pada bagian
pemberitaan (bagian pemberitaan meliputi hasil pemeriksaan luar, hasil
pemeriksaan dalam dan hasil pemeriksaan penunjang) dan bagian kesimpulan.
Jadi, -saya ulangi penjelasan
dari dokter Mun’im- kejanggalan pada VR pertama ialah tidak mencantumkan sebab
kematian (yang dicantumkan pada VR pertama adalah mekanisme kematian, bukan
sebab kematian). Sedangkan pada VR kedua, kejanggalannya ialah mencantumkan
benda penyebab kekerasan, bukan mencantumkan jenis kekerasan.
Dari kedua VR tersebut, tidak
dapat diperoleh penjelasan tentang perlukaan atau kelainan yang menyebabkan
Marsinah tewas. Hal ini terjadi, menurut hemat dokter Mun’im, karena salah
satunya akibat pembuatan VR yang di luar kelaziman.
Maka, jenis kekerasan yang terjadi
pada tubuh Marsinah menimbulkan pertanyaan besar. Kekerasan sepert apa yang
dapat menimbulkan cedera pada Marsinah, yang dimulai dari luka terbuka di labia minora kiri, tulang kemaluan kiri
yang patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan yang patah dan terpisah,
serta tulang kelangkang kanan yang patah seluruhnya? Menurut dokter Mun’im,
kekerasan tersebut dimulai dari sebelah kiri, kemudian setelah membentur tulang
usus kanan lalu memantul ke tulang kelangkang. Sebagai saksi ahli, dokter
Mun’im menyatakan pendapat yang segera menuai kontroversi : akibat luka tembak!
Pada bagian akhir tulisan, dokter
Mun’im memaparkan refleksinya ketika menangani kasus Marsinah : Kasus Marsinah menjadi kontroversi dan
kesaksian saya dianggap konyol oleh sebagian teman. Secara tidak langsung saya
memang seolah mempertaruhkan profesi dan diri saya. Kematian Marsinah seperti
selalu ada yang kurang. Walau para pelaku sudah ada dan sudah dijatuhi hukuman
penjara, namun tetap saja menjadi suatu pertanyaan besar di kepala, ada apa di
balik kematian aktivis buruh itu?
3. Benarkah
Munir diracun di Udara?
Munir Said Thalib, namanya
mencuat sejak ia menjadi aktivis pembela HAM. Laki-laki kelahiran Malang, 8
Desember 1965 itu berani berdiri di garda terdepan dalam pembelaan terhadap
hak-hak asasi manusia. Kematiannya pada September 2004 masih menyisakan banyak
pertanyaan. Munir meninggal di pesawat Garuda jenis Boeing 747, dalam
perjalanan menuju Amsterdam. Munir hendak melanjutkan studi S2 bidang hukum di
Universitas Utrecht, Belanda. Munir didapatkan meninggal di atas langit
Rumania, hanya sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam.
Dalam tulisannya tentang kematian
Munir, dokter Mun’im mengungkapkan banyak fakta yang tidak pernah diberitakan
oleh media. Bahkan Dokter Mun’im berpendapat bahwa cerita kematian Munir ialah
cerita dengan lakon yang belum tuntas, tetapi “dipaksakan” untuk tuntas.
Dokter Mun’im menerima telepon dari
Mabes Polri 3 jam setelah Munir dinyatakan meninggal. Ia diminta bersiap
mengotopsi jenazah Munir saat jenazahnya tiba di Jakarta. Dokter Mun’im
menyanggupi permintaan tersebut. Namun, Suciwati -istri Munir- menolak jenazah
suaminya diotopsi ulang. Sebelumnya, jenazah Munir sudah diotopsi di Belanda.
Hasil otopsi menyatakan terdapat timbunan Arsenik yang melebihi ambang batas.
Munir meninggal karena keracunan Arsenik.
Dokter Mun’im menilai pelaku
pembunuhan Munir sangat pintar. Sebab, kasus keracunan Arsenik sangat langka.
Jumlahnya tidak sampai 10%. Selain itu, Arsenik termasuk ideal untuk membunuh (ideal poisioning). Arsenik punya sifat
tidak memiliki rasa, warna dan bau.
Menurut dokter Mun’im ada
beberapa kejanggalan dalam kematian Munir. Salah satunya terlihat dari
penjelasan tim khusus yang diberangkatkan ke Belanda untuk menyelidiki kematian
Munir. Laporan tim menyatakan racun Arsenik dimasukan ke dalam minuman jus yang
dipesan Munir di pesawat. Menurut dokter Mun’im, hal itu sangat tidak mungkin,
sebab Arsenik mudah larut di air panas atau hangat, bukan di air dingin. Jika
dimasukan ke minuman dingin, Arsenik akan mengendap. Kemungkinan tempat dimana
Munir mendapatkan minuman hangat yang seharusnya dicurigai sebagai tempat kejadian
perkara (TKP). Berdasarkan hal-hal tersebut, dokter Mun’im menyimpulkan
lokasinya ialah di Café Bean, Bandara Changi, Singapura. Ada beberapa pelajar
yang melihat Munir mampir di Café Bean bersama Pollycarpus.
Selain itu, berdasarkan skenario
tim tersebut, disebutkan bahwa sifat kerja Arsenik (on set of action) adalah sembilan puluh menit. Dokter Mun’im punya
analisis yang berbeda dari tim. Menurut analisisnya, dalam waktu tiga puluh
menit Arsenik sudah menimbulkan gejala keracunan.
Dokter Mun’im juga menilai tim
pencari fakta yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak serius menangani
kasus Munir. Indikasinya, di kepolisian ada spesialisasi tugas, misalnya untuk
menangani kasus narkoba, kasus korupsi dan sebagainya, akan ditangani oleh
pejabat-pejabat yang relevan dengan maslah tersebut. Berdasarkan pertemuan pertama
tim pencari fakta yang dipimpin oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), dokter Mun’im segera memberikan penilaian bahwa tim ditangani oleh
pejabat yang tidak nyambung. Hemat
kata, tim itu tidak serius.
Ada cerita yang sangat menarik
dari tulisan dokter Mun’im tentang kematian Munir. Suatu hari ia menerima
telepon dari Kabareskrim Mabes Polri yang saat itu dijabat oleh Bambang
Hendarso. Danuri meminta dokter Mun’im menyampaikan analisnya perihal kematian Munir,
supaya pelaku pembunuhan dapat ditemukan. Ia berbicara singkat, “Dokter, ini
untuk Merah Putih”. Dengan heran, dokter Mun’im menanyakan apa maksudnya untuk
Merah Putih. Danuri menrangkan, “Kalau kita tidak bisa masukkan seseorang ke
dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak akan cair. Karena dia
(Munir) tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku,
Dok.”
Pada akhirnya, nama Pollycarpus
Budihari Priyanto menjadi penutup yang tidak memusakan dalam kasus Munir. Pertanyaan-pertanyaan
dokter Muni’im di bagian akhir tulisan terasa sangat mengusik, sebab
pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah menemui jawabannya hingga kini : “Punya
urusan apa Pollycarpus menghabisi Munir? Kalau memang dia ‘ditugaskan’, siapa
yang menugaskannya?”
***
Tahun-tahun telah berganti,
banyak hal telah terjadi. Namun, aksi Kamisan1 masih terus
berlangsung, pabrik tempat Marsinah pernah bekerja telah tenggelam oleh luapan
Lumpur Lapindo2, juga presiden Yudhoyono yang belum berhasil menepati
janji tuntaskan kasus Munir hingga menjelang akhir pemerintahannya. Korban-korban
pelanggaran HAM masih menemui jalan buntu dalam pencariannya menemukan
keadilan. Keseriusan pemerintah jadi poin penting bagi penuntasan kasus-kasus
pelanggaran HAM. Buku ini menjadi pencerah untuk menilai kadar keseriusan
pemerintah kita dalam penegakan HAM.
Terlepas dari
kekurangan-kekurangan dalam buku ini, seperti tidak ada penjelasan rinci
tentang istilah-istilah kedokteran yang digunakan (yang berpotensi menimbulkan
kebingungan bagi orang-orang yang tidak berkecimpung di dunia medis), Indonesia X - Files berhasil menjadi suara
bagi mereka yang tidak lagi bisa bersuara!