Enam
Tahun Melawan dalam Cemas
(Prolog : ini semacam penelitian kualitatif yang sangat kecil-kecilan tentang kecemasan warga pesisir Kulon Progo terhadap rencana penambangan pasir besi. Tulisan ini merupakan salah satu tugas untuk Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat, kami dibebaskan mengambil tema papun yang berhubungan dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saya punya alasan yang sangat subyektif ketika memilih tema tentang kecemasan masyarakat pesisir Kulon Progo, saya ingin isu tambang besi Kulon Progo ini mendapat perhatin dari banyak pihak. Alasan pertama, saya berasal dari keluarga keluarga petani, ini semacam "solidaritas". Semenjak papa pensiun dari pekerjaannya, hasil pertanian menjadi salah satu yang kami andalkan sebagai pendapatan keluarga. Anggaplah saya bisa mengerti betapa berartinya tanah bagi petani. Alasan kedua, saya ingin tahu bagaimana kondisi kejiwaan orang-orang yang hidup di wilayah yang potensi konfliknya begitu besar seperti pesisir Kulon Progo saat ini. Saya akui ini bukan hasil penelitian cum tulisan yang baik, analisa dan pembahasannya masih sangat dangkal. Hanya satu minggu waktu yang diberikan untuk mengerjakan penelitian ini, mulai dari perizinan sampai penulisan laporan. Itu memang apologi saya, tapi saya tetap mengakui ini bukan tulisan yang baik dan tidak meminta pemakluman. Sebab penulis yang baik pasti bisa menhghasilkan tulisan yang baik, bagaimanapun kondisinya. Dan saya belum tergolong penulis yang baik. Dalam publikasi di blog ini, semua nama narasumber saya samarkan. Saya berkata tulisan ini untuk keperluan tugas dari kampus ketika menemui para narasumebr, saya tidak mengatakan untuk dipublikasikan. Sekalipun ini cuma publikasi di blog pribadi, dengan alsan etika, saya menyamarkan semua nama narasumber.)
Proses
perizinan penambangan pasir besi di Kulon Progo terus berlangsung. Warga yang
menolak pun tetap melawan. Dalam perlawanan mereka merasakan kecemasan. Dan
semua itu sudah berlangsung selama enam tahun...
Sudah sekitar enam
tahun Kulon Progo bergejolak akibat rencana penambangan pasir besi. Kulon Progo
ialah satu dari empat kabupaten di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 58.627,5
Ha. Kulon Progo memiliki sebelas kecamatan dengan beragam potensi, mulai dari
pariwisata, pertanian peternakan, hingga perikanan. Beberapa tahun lalu,
ditemukan potensi pertambangan karena kandungan pasir besi di pesisir Kulon
Progo. Rencana penambangan pasir besi inilah yang memicu pergolakan, sebab
warga pesisir menolak rencana penambangan itu.
Februari 2006, Australia Kimberly Diamond (AKD)
dan Jogja Magasa Mining (JMM) melakukan eksplorasi pasir besi di seribu
lokasi. Pada 2008, seiring setelah AKD
merubah namanya menjadi Indo Mines Ltd pada 2006, dan bikin perusahaan patungan
bersama JMM dengan nama Jogja Mgasa Iron (JMI), Kontrak Karya antara JMI dan
Pemerintah Indonesia diteken. Jogja Magasa Mining adalah perusahaan lokal yang
menjadikan GKR Pembayun, putri tertua Sultan Hamengku Buwono (HB) X, sebagai
salah satu pemegang sahamnya.
Penambangan akan
dilakukan di lahan pesisir seluas 22 km x 1,8 km. Lahan seluas itu merupakan
wilayah tambang PT. JMI. Penambangan akan dilakukan di tanah pesisir yang
terdiri dari : tanah warga, Tanah Pakualaman (Tanah PA), tanah merah (tanah
yang digunakan untuk bertani tetapi tidak jelas kepemilikannya) dan wedi kengser (tanah yang dulunya laut).
Sengketa tanah amat
rentan terjadi pada proyek penambangan ini. Warga menolak tanahnya ditambang
oleh PT. JMI. Belum lagi status kepemilikan tanah merah yang rancu. Tanah merah
dinyatakan sebagai tanah negara oleh petani, tapi juga diklaim sebagai Tanah
Magersari oleh Pakualaman. Tanah Magersari adalah tanah yang tak berlandaskan
sertifikat, melainkan surat kekancingan dari pihak kraton yang menunjukkan
bahwa tanah warga tersebut adalah Tanah Sultan atau Tanah Pakualaman. Tanah
merah kenyataannya memang tak bersertifikat, tapi lahan yang tak diurus negara
itu juga tak bersurat kekancingan.
Masyarakat pesisir dengan
tegas menolak rencana penambangan. Masyarakat pesisir Kulon Progo mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani. Penambangan itu bisa menggusur tempat
tinggal mereka, juga menggusur lahan pantai yang selama ini mereka tanami.
Mereka pun mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai wadah
penolakan mereka terhadap rencana
penambangan.
1 April 2006, PPLP
resmi berdiri. Sudah enam tahun ini mereka terus melawan. Mereka konsisten menolak
rencana penambangan. Perlawanan mereka menimbulkan konflik vertikal maupun
horizontal. Konflik vertikal berarti mereka berhadapan dengan perusahaan
tambang, pemilik modal asing, kraton dan negara. Konflik horizontal terjadi
antar warga yang menolak penambangan dengan warga yang pro penambangan.
Ditengah-tengah
sengketa lahan dan potensi konflik yang luar biasa, PPLP juga pernah mengalami
teror, intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kecemasan pun dirasakan
warga peisisir, khususnya pengurus PPLP. Selain kecemasan akan kehilangan
lahan, pengurus PPLP punya tanggung jawab mengatur massa PPLP yang berjumlah
puluhan ribu. Itu menjadi “kecemasan tambahan” bagi mereka.
***
Siang itu (Senin, 2
April 2012) saya berdiskusi dengan K dan F, mereka berdua pegiat di
Solidaritas Tolak Tambang Besi (STTB). Kami mengobrol di teras rumah kontrakan
milik George Yunus Aditjondro, ilmuwan sosial yang sempat menggegerkan dengan
bukunya, Membongkar Gurita Cikeas.
George mengontrak sebuah rumah di daerah Mrican, dekat Kampus II Universitas
Sanata Dharma. George tidak tinggal di sini. Rumah itu hanya digunakan untuk
menyimpan buku-buku milik George yang jumlahnya luar biasa banyak. Para pegiat
STTB sering memanfaatkan rumah ini sebagai tempat berkumpul.
STTB kerap
mendampingi petani-petani Kulon Progo terkait permasalahan tambang pasir besi. K
mengatakan, rencana penambangan itu membuat warga menjadi amat waspada kepada
orang luar, tidak terkecuali peneliti yang hendak bikin penelitian di sana.
Warga takut penelitian atau apapun yang dilakukan orang luar akan digunakan
untuk memuluskan rencana penambangan. Kekhawatiran warga amat beralasan.
Penambangan itu bisa menggusur tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka
selama ini.
“Coba kamu masuk ke
sana lewat Pak Kr saja. Beliau orangnya terbuka,” kata K. Pak Kr
adalah salah satu pengurus PPLP yang tinggal di Desa Bugel. Pak Kr juga
pernah membantu K ketika dia melakukan riset di Kulon Progo untuk
kepentingan tesisnya.
F memberikan
nomor telepon genggam Pak Kr kepada saya. Saat itu juga saya menghubungi
Pak Kr. “Bilang kalau kamu temannya K,” kata K menyarankan. Strategi
itu berhasil. Pak Kr bersedia menemui saya.
Ketika sore
menjelang, kami terpaksa menyudahi diskusi tentang penambangan pasir. K dan
F harus menjemput teman mereka -sesama pegiat STTB- di terminal. Saya pun
berpamitan pada mereka berdua. Sebelum pergi, K mengingatkan saya untuk
berhati-hati. Jangan masuk lewat “pintu” yang salah.
Saya bersyukur cuaca
hari Selasa 3 April 2012 amat bersahabat. Langit cerah, tidak ada awan mendung
yang bergantung. Cerahnya hari membuat saya merasa nyaman menempuh perjalanan menuju
pesisir Kulon Progo. Dari tempat tinggal saya di Jalan Kaliurang Km 14,5,
perjalanan itu memakan waktu satu jam lebih. F bersedia menemani saya ke
Kulon Progo.
Sempat mengalami
insiden ban motor yang bocor, sekitar jam 14.00 WIB saya sampai di rumah Pak
Kr. Pak Kr sudah menunggu kedatangan saya. Kami berbincang di teras
rumahnya, duduk di kursi bambu.
Pak Kr lelaki
paruh baya berwajah ramah. Rambutnya sudah memutih di beberapa tempat. Saat itu
ia mengenakan kemeja batik. Pak Kr mulai bercerita tentang latar belakang
masyarakat pesisir. Ia mengatakan, dulu masyarakat pesisir sangat miskin. Lahan
pesisir yang merupakan lahan kritis tidak mendatangkan banyak kemakmuran. Lahan
kritis hanya bisa ditanami tanaman seperti kentang dan ketela muntul (ubi jalar). Kondisi lahan yang
tidak subur membuat masyarakat pesisir banyak yang merantau ke luar daerah. Di
sana mereka jadi buruh. Ada juga yang menjadi buruh migran (TKI) ke luar
negeri.
Namun, segalanya
berubah pada tahun 1985. Ketika itu ada kemajuan teknologi untuk menggarap
lahan kritis. Ada penemuan untuk mengatasi itu, yaitu dengan membuat pola penyiraman.
Di lahan, sumur-sumur pun mulai dibuat. “Mulanya hanya sumur yang pakai bambu.
Tapi itu berkembang terus,” kata Pak Kr.
Sekarang ini pola
penyiraman sudah makin berkembang sejak petani mulai menggunakan pompa air.
Tanaman di lahan kritis perlu disirami dua kali sehari karena kondisi tanah
yang permeabilitasnya tinggi. Permeabilitas tinggi itu membuat air jadi cepat
diserap tanpa mengendap.
Sejak penemuan
teknologi itu, petani lahan pantai Kulon Progo mulai merasakan kemakmuran.
Lahan pantai bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Mulai dari cabai, melon,
semangka, terong, tomat, dan lain-lain. Warga pun tidak lagi menjadi buruh di luar
daerah. Mereka pulang kampung dan menggarap lahan pantai. Lahan pantai sudah
mampu memenuhi kebutuhan hidup.
“Nah itu. Tetapi
tiba-tiba setelah kita merasakan kenikmatan hidup dari hasil pertanian,
tiba-tiba pemerintah mau menggusur, mau menambang lahan yg kami kelola.”
Saya dapat melihat
dengan jelas kemakmuran yang dikatakan Pak Kr. Sepanjang perjalanan ke Desa
Bugel, saya melihat rumah-rumah yang sudah permanen, walaupun masih ada
sebagian kecil yang berdinding bata. Jumlah rumah yang berdinding anyaman bambu
dapat dihitung dengan jari. Ini pemandangan yang kontras dengan desa tempat
saya menjalani pendidikan klinik stase Ilmu Kesehatan Masyarakat di Desa Jono,
Kecamatan Tanon, Sragen. Di Jono banyak rumah yang masih berdinding anyaman
bambu atau kayu. Lantainya juga masih tanah. Padahal Desa Jono dan Desa Bugel
sama-sama desa agraris. Saya berani mengatakan warga Bugel jauh lebih makmur daripada
Jono.
Kendaraan roda dua
pun menjadi alat transportasi yang lumrah dimiliki masyarakat pesisir.
Sepanjang perjalanan, saya banyak menjumpai petani pergi ke lahan dengan sepeda
motor. Pak Kr sendiri memiliki lebih dari satu sepeda motor.
Pertanian tidak hanya
mendatangkan kemakmuran. Penyakit mata yang dulu sering menyerang warga pun
lenyap. Apa pasal? Ternyata di sini penyakit mata amat berkaitan dengan lahan
yang terbuka, banyak debu yang terhembus angin. Terutama ketika musim kemarau
datang, angin bertiup sangat kencang. Setelah lahan bisa ditanami, debu-debu
pun tidak banyak lagi yang berterbangan.
“Dulu kalau setiap
musim kemarau pasti ada penyakit mata. Tapi sekarang ini sudah nggak muncul lagi penyakit mata. Ya
kadang-kadang ada yang kena belekan
itu, tapi kan tidak semuanya kena, mungkin cuma satu-dua,“ ujar Pak Kr, “Lha… dulu hampir semuanya kena penyakit
mata. Luar biasa penyakit mata itu. Sampai kalau pagi itu mau membuka kelopak
mata saja sulit. Blobok itu keluar,
sampai lengket dan mengunci kelopak mata. Itu saya mengalami waktu masih kecil.
Dan itu dirasakan oleh hampir semua orang.”
Pak kr
mengatakan, warga di sini juga cemas potensi kerusakan lingkungan yang akan
terjadi akibat penambangan. Mereka juga khawatir gumuk-gumuk (bukit-bukit) pasir
akan hilang akibat penambangan. Gumuk pasir itu terbentuk secara alami akibat
pasir yang terbawa tiupan angin. Warga percaya gumuk pasir bisa menahan
gelombang jika terjadi tsunami. “(Beberapa tahun lalu) waktu tsunami di pangandaran itu,
gelombang air laut di sini kan juga naik. Tapi itu tidak terlalu membahayakan
karena masih ada gumuk-gumuk pasir. Di sana (Pangandaran) katanya sudah merata gitu…”
Pak Kr mengaku
mengalami kecemasan selama enam tahun ini, sejak rencana penambangan pasir besi
santer berdengung. Sering ia merasa sakit perut ketika pikirannya merasa tidak
tenang. “Itu yang sering saya alami. Kalau pikiran tidak tenang, akhirnya perut
yang terasa”.
Kecemasan yang dialami Pak Kr bukan hanya
karena cemas kehilangan tanah akibat penambangan. Sebagai pengurus PPLP, ia
sering merasa cemas ketika “tensi” masyarakat meninggi. “Saya sempat nggak bisa tidur… Saya berusaha supaya
masyarakat tensinya tidak terlalu tinggi, supaya kecurigaan masyarakat juga
tidak terlalu tinggi pada orang luar. Pada mobil berplat merah terutama. “
“Dulu pernah ada
orang-orang bermobil yang memotret-motret di lahan. Akhirnya mobil itu dirusak
oleh massa. Saya merasa cemas juga, sempat tidak bisa tidur. Karena sebagai
orang yang dituakan, tanggung jawabnya berat,” ujar Pak Kr.
Pak Kr memberi
arahan pada saya untuk bertemu Bu S, atau yang biasa disapa Bu Tj.
Bu S memang istri Pak Tj. Pak Tj adalah petani yang
dikriminalkan karena menolak penambangan. Pak Tj terkenal berani dan vokal.
Menurut buku Catatan Akhir Tahun 2010
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dulu Pak Tukijo sering menerima teror
melalui pesan singkat di ponselnya.
Pada 1 Mei 2011, Pak
Tj ditahan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenagkan. Pak Kr menilai
ada yang ganjil dari kasus Pak Tj. “Hakim memvonis tiga tahun. Padahal
tuntutan jaksa hanya dua tahun. Padahal kan kasus Pak Tj hanya perbuatan
tidak menyenangkan. Saya tidak tahu ini kok
sampai 3 tahun. Sedangkan yang berbuat anarkis di Cikeusik itu (terhadap Jemaat
Ahmadiyah) vonisnya hanya beberapa bulan. Padahal di sana sampai ada yang
meninggal, tapi vonisnya hanya 4 bulan, 6 bulan,” ujar Pak Kr.
“Kalau yang lain kan
kecemasannya ya kecemasan-kecemasan yang juga dirasakan oleh semua (kecemasan
akibat penambangan). Kecemasan keluarga Pak Tj lain. Karena (kecemasan)
mereka jelas dikaitkan dengan hukum, to.
Orang tidak bersalah kok dihukum. Itu kan jadi luar biasa.”
Tanpa terasa, kami
sudah mengobrol selama lebih dari tiga jam. Saya pun berpamitan pada Pak
Kr. Sebelum saya pulang, Pak Kr mengajak saya melihat lahannya. Jarak
dari rumah ke lahan hanya sekitar setengah kilometer. Sekarang sedang musim
tanam cabai. Lahan Pak Kr juga sedang ditanami cabai. Di sepanjang jalan,
saya menyaksikan hamparan lahan pasir yang terbentang luas. Lahan-lahan itu
tampak menghijau akibat pohon-pohon cabai yang sedang tumbuh.
Saya takjub melihat
pohon-pohon cabai yang tumbuh subur di tanah pasir. Ini pertama kalinya saya
menyaksikan cabai yang ditanam di lahan pasir.
Sebelum menanam
cabai, petani-petani di sini baru saja panen semangka. Saya masih menemukan
buah-buah semangka kering yang tergeletak begitu saja di lahan. “Sisa panen
kemarin,” kata Pak Kr.
Lahan Pak Kr berjarak
sangat dekat dari bibir pantai. “Cuma sekitar seratus meter dari pantai,” ujar
Pak Kr. Dari lahan Pak Kr, birunya lautan dapat terlihat dengan jelas.
Pemandangan yang luar biasa!
***
Rabu, 4 April 2012.
F kembali menemani saya ke Kulon Progo. Siang itu kami menuju ke rumah Bu
Tj. Rumahnya berjarak dua kilometer dari rumah Pak Kr.
Kami sempat
kebingungan menemukan rumah Bu Tj. Setelah bertanya pada perempuan yang
menggendong anak kecil, akhirnya kami sampai di rumah Bu Tj. Rumahnya
berdinding bata merah.
Saat itu di rumah
hanya ada Ks, menantu Bu Tj. Ks sedang menyuapi anaknya
yang berusia tujuh bulan. Bu Tj sedang tidak di rumah, ia masih di lahan.
Akhirnya Bu Tj
datang setelah kami menunggu cukup lama. Saya menyampaikan maksud kedatangan
saya. Namun, Bu Tj menolak diwawancarai. Bu Tj hanya berkata, “sudah
ketemu Pak Kr kan, Mbak? Ya sama. Yang saya rasakan juga sama seperti yang
dirasakan Pak Kr,” kata Bu Tj.
Saya pun mohon diri.
Saya lalu memutuskan menemui Mas Wd, petani yang juga pengurus PPLP. Di
perjalanan menuju rumah Mas Wd, F banyak bercerita pada saya. Keluarga
Pak Tj memang sulit terbuka pada orang asing. Kasus hukum yang menjerat Pak
Tj membuat keluarga itu pernah mengalami penipuan. Beberapa kali mereka
dijanjikan bahwa Pak Tukijo bisa bebas asal mereka membayar sejumlah uang.
Namun, janji-janji itu tak pernah terbukti…
Mas Wd sedang
duduk di teras rumah ketika kami datang. Kami lalu berbincang-bincang di ruang
tamu rumahnya.
Mas Wd
mengatakan, ia sering merasakan perutnya sakit, asam lambungnya naik jika PPLP
akan mengadakan event atau aksi. Event dan aksi yang diadakan PPLP selalu
dijaga ketat oleh polisi, bahkan kadang tentara. Ia cemas bentrokan bisa
terjadi. “Sering susah tidur juga kalau mau ada aksi,” kata Mas Wd
menambahkan.
“Apa yang paling
bikin cemas dari rencana penambangan ini?” tanya saya.
“Yang paling
mencemaskan ya menggusur kehidupanku. Nanti aku hidup dimana? Itu yang paling
bikin cemas,” jawab Mas Wd.
Mas Wd mersakan
beban berat sebagai pengurus PPLP. “Ya pasti beban to. Gimana nggak? Ya
namanya mengatur ribuan orang. Tiap kepala isinya nggak ada yg sama. Dan kita untuk menyamakan persepsi itu kan juga
susah.
Ini sudah masuk tahun
ketujuh. Sudah lama lho itu. Kalau
ini bukan betul-betul perjuangan akar rumput ya sudah hancur itu. Dengan
iming-iming uang yang segitu banyaknya dan kita sendiri kan betul-betul harus jeli untuk melihat sesuatu, baik di dalam
PPLP maupun di luar PPLP. Seperti bagaimana dengan situasi, apa yang harus kita
lakukan. Betul-betul harus bisa mengolah. Makanya kadang-kadang kayak yang aku katakan tadi, kalau
pikiran berat itu terus larinya ke perut.
Asam lambung naik. Jelas kurang istirahat juga. Selama (hampir) tujuh
tahun itu kerap mengalami itu setiap mau ada acara yang di situ berpotensi akan
timbul konflik. Harus memikirkan bagaimana caranya meredam konflik, kalau
misalnya terjadi konflik, nanti pasca konflik itu akan gimana.”
Mas Wd
menambahkan, tidak semua orang bisa menghadapi keadaan seperti itu.
“Betul-betul butuh keberanian untuk mengambil sebuah keputusan,” ujarnya.
Besarnya potensi
konflik yang mungkin muncul juga menjadi beban tersendiri bagi Mas Wd.
Meskipun warga yang pro tambang tidak banyak jumlahnya, timbul kerentanan
terjadi gesekan antara warga yang pro tambang dengan warga yang menolak
tambang. Mas Wd menceritakan kejadian di Desa Karangwuni. “Di Karangwuni
itu kan kemarin ada orang mati. Itu katakanlah anaknya kerja di tambang. Tetangganya nggak ada yang hadir melayat. Biarpun cuma tetangga sebelah rumah
pun nggak datang. Sampai segitunya itu lho. Lha itu yang layat
cuma orang-orang jauh. Keluarganya sendiri kalau masih tetangga pun nggak datang. Karena takut juga to. Itu kan hukum sosial. Ketika orang
itu datang melayat ke situ, ya dia (dianggap) ikut pro.“
***
Kamis itu (5 April
2012) saya menemui teman saya, ISN, yang bekerja di kantor
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. ISN menunjukkan pers rilis keluaran
LBH Yogyakarta terkait penolakan warga terhadap penyusunan AMDAL bagi
penambangan bijih besi di Kulon Progo.
Amdal atau analisis
mengenai dampak lingkungnan adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
Sedangkan pengertian dari dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.
Lingkungan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik
maupun biologi, tetapi juga aspek sosial-ekonomi-budaya dari manusia yang
tinggal di wilayah tersebut.
“Proses penyusunan
Amdal masih berjalan. Padahal warga menolak,” kata ISN. Selain itu, rencana
penambangan ini rentan mencederai hak warga atas kepemilikan tanah. “Konflik
lahan pasti terjadi. Lahan yang mau ditambang itu kan terdiri dari tanah merah
(tanah negara), tanah Pakualaman dan tanah warga sendiri. Masih ada konflik
terkait batas-batas tanah yang tidak jelas.”
***
Saya juga menemui
AC. Ia mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. AC teman saya yang
pernah mengumpulkan data-data pelanggaran HAM di Kulon Progo. Data itu ia kumpulkan
untuk menyusun laporan yang ditujukan pada Human
Right Watch.
Tidak seperti saya
yang ditolak saat hendak mewawancarai Bu Tj, AC berhasil
mewawancarai Bu Tj. “Tampak sekali kecemasan pada Bu Tj. Tulang
punggung keluarganya ditahan. Waktu aku bertanya soal ekonomi keluarga, bu
Tj menjawab kalau ekonomi keluarga jadi morat-marti,”
kata AC.
AC menjelaskan
tentang teori konflik dalam kaitannya dengan konflik vertikal dan horizontal di
Kulon Progo. “Teori konflik yang paling mendasar ialah membiarkan konflik itu
terjadi, dan konflik itu akan terus berkembang.” Menurut AC, konflik
horizontal lah yang justru akan makin berkembang. “Sekalipun tambang batal,
konflik horizontal itu akan tetap ada. Sebab orang-orang yang pro tambang pasti
kan mengharapkan sesuatu (dari penambangan pasir besi). Mereka pasti sakit hati
kalau tambang batal. Dan mereka jadi marah pada warga yang menolak penambangan.
Sebab tambang jadi batal gara-gara warga yang menolak,” katanya melanjutkan.
AC juga datang
ketika PPLP merayakn ulang tahun yang keenam tanggal 1 April lalu. Ia bercerita
pada saya tentang perayaan ulang tahun kemarin. “Ulang tahun PPLP yang terakhir
kemarin banyak muatan religiusnya. Malam pengajian, siang juga pengajian lagi.
Di satu sisi, pengajian itu bisa meredam kecemasan, di sisi lain itu juga bisa
memberikan optimisme bahwa perjuangan mereka akan dibantu oleh
kekuatan-kekuatan transendental (Tuhan)…”
***
Kondisi Kejiwaan
Konflik itu sudah
berjalan selama enam tahun, kini memasuki tahun ketujuh. Warga merasa cemas
akibat rencana penambangan yang bakal membuat mereka kehilangan lahan,
menimbulkan kerusakan lingkungan, dan menciptakan konflik-konflik antar sesama
warga. Ini jelas bukan permasalahan sederhana. Semua terlibat, mulai dari
negara, pemodal asing, sultan, kraton, aparat kemanan, dan warga pesisir Kulon
Progo.
Kecemasan yang
dialami Pak Kr dan Mas Wd menimbulkan gejala-gejala otonomik seperti
gangguan lambung ringan dan sulit tidur. Ketika mewawancarai Pak Kr, beliau
juga bercerita tentang pengurus PPLP bernama Pak Sd yang tinggal di Desa
Karangwuni. Pak Sd sering tidak bisa tidur sehabis rapat PPLP. “Pak Sd
sampai stress, kagol, cemas, bahkan pernah sampai menyiapkan senjata,” kata Pak
Kr.
Dalam buku Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri,
kecemasan didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang
mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut.
Masih menurut buku
tadi, sensasi kecemasan sering dirasakan oleh hampir semua orang. Perasaan
cemas ditandai dengan rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan
samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala,
berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada dan gangguan lambung ringan.
Saya sepakat dengan
AC yang mengatakan bahwa muatan religius (berupa pengajian) saat ulang
tahun PPLP kemarin bisa meredam kecemasan. Sekiranya warga Kulon Progo perlu bersama-sama
meningkatkan keterlibatan aktivitas religius untuk meredam kecemasan.
Dari
sudut pandang ilmu kedokteran jiwa, aktivitas religius mempunyai peranan besar
untuk menunjang kesehatan mental seseorang. Contohnya dalam jurnal Risk factors for suicide in Bali : a psychological
autopsy study. Dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya
keterlibatan aktivitas religius sebagai faktor risiko bunuh diri di Bali.
Daftar
Pustaka
Kaplan dan Cadock. 1997. Kaplan dan Cadock :
Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara, Jakarta
Kurihara
dkk. 2009. Risk factors for suicide
in Bali : a psychological autopsy study.
BMC
Public Health
2009, 9:327 doi:10.1186/1471-2458/9/327
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 2010. Catatan
Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta,
Yogyakarta
Majalah Natas. Tahun terbit 2010
(Epilog : Ada yang menarik ketika saya mempresentasikan laporan ini ke dua orang dosen penguji di kampus. Salah seorang dosen penguji berkomentar, masalah penolakan ini juga berkaitan dengan harga diri para petani di sana. Harga diri para petani ikut tercederai karena rencana penambangan pasir besi. Keberhasilan mereka menciptakan teknik bercocok tanam yang membuat lahan kritis bisa ditanami akan diobrak-abrik akibat tambang besi. Kurang lebih dosen saya bilang, "penolakan tambang itu juga soal harga diri. Usaha keras mengubah lahan kritis jadi bisa ditanami akan hancur kalau penambangan jadi dilakukan. Itu kan semacam melukai harga diri petani.")