Minggu, 24 Juni 2012

Enam Tahun Melawan dalam Cemas


Enam Tahun Melawan dalam Cemas

(Prolog : ini semacam penelitian kualitatif yang sangat kecil-kecilan tentang kecemasan warga pesisir Kulon Progo terhadap rencana penambangan pasir besi. Tulisan ini merupakan salah satu tugas untuk Stase Ilmu Kesehatan Masyarakat, kami dibebaskan mengambil tema papun yang berhubungan dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Saya punya alasan yang sangat subyektif ketika memilih tema tentang kecemasan masyarakat pesisir Kulon Progo, saya ingin isu tambang besi Kulon Progo ini mendapat perhatin dari banyak pihak. Alasan pertama, saya berasal dari keluarga keluarga petani, ini semacam "solidaritas". Semenjak papa pensiun dari pekerjaannya, hasil pertanian menjadi salah satu yang kami andalkan sebagai pendapatan keluarga. Anggaplah saya bisa mengerti betapa berartinya tanah bagi petani. Alasan kedua, saya ingin tahu bagaimana kondisi kejiwaan orang-orang yang hidup di wilayah yang potensi konfliknya begitu besar seperti pesisir Kulon Progo saat ini. Saya akui ini bukan hasil penelitian cum tulisan yang baik, analisa dan pembahasannya masih sangat dangkal. Hanya satu minggu waktu yang diberikan untuk mengerjakan penelitian ini, mulai dari perizinan sampai penulisan laporan. Itu memang apologi saya, tapi saya tetap mengakui ini bukan tulisan yang baik dan tidak meminta pemakluman. Sebab penulis yang baik pasti bisa menhghasilkan tulisan yang baik, bagaimanapun kondisinya. Dan saya belum tergolong penulis yang baik. Dalam publikasi di blog ini, semua nama narasumber saya samarkan. Saya berkata tulisan ini untuk keperluan tugas dari kampus ketika menemui para narasumebr, saya tidak mengatakan untuk dipublikasikan. Sekalipun ini cuma publikasi di blog pribadi, dengan alsan etika, saya menyamarkan semua nama narasumber.) 

Proses perizinan penambangan pasir besi di Kulon Progo terus berlangsung. Warga yang menolak pun tetap melawan. Dalam perlawanan mereka merasakan kecemasan. Dan semua itu sudah berlangsung selama enam tahun...

Sudah sekitar enam tahun Kulon Progo bergejolak akibat rencana penambangan pasir besi. Kulon Progo ialah satu dari empat kabupaten di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Kabupaten ini memiliki luas wilayah 58.627,5 Ha. Kulon Progo memiliki sebelas kecamatan dengan beragam potensi, mulai dari pariwisata, pertanian peternakan, hingga perikanan. Beberapa tahun lalu, ditemukan potensi pertambangan karena kandungan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Rencana penambangan pasir besi inilah yang memicu pergolakan, sebab warga pesisir menolak rencana penambangan itu.
 Februari 2006, Australia Kimberly Diamond (AKD) dan Jogja Magasa Mining (JMM) melakukan eksplorasi pasir besi di seribu lokasi.  Pada 2008, seiring setelah AKD merubah namanya menjadi Indo Mines Ltd pada 2006, dan bikin perusahaan patungan bersama JMM dengan nama Jogja Mgasa Iron (JMI), Kontrak Karya antara JMI dan Pemerintah Indonesia diteken. Jogja Magasa Mining adalah perusahaan lokal yang menjadikan GKR Pembayun, putri tertua Sultan Hamengku Buwono (HB) X, sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Penambangan akan dilakukan di lahan pesisir seluas 22 km x 1,8 km. Lahan seluas itu merupakan wilayah tambang PT. JMI. Penambangan akan dilakukan di tanah pesisir yang terdiri dari : tanah warga, Tanah Pakualaman (Tanah PA), tanah merah (tanah yang digunakan untuk bertani tetapi tidak jelas kepemilikannya) dan wedi kengser (tanah yang dulunya laut).  
Sengketa tanah amat rentan terjadi pada proyek penambangan ini. Warga menolak tanahnya ditambang oleh PT. JMI. Belum lagi status kepemilikan tanah merah yang rancu. Tanah merah dinyatakan sebagai tanah negara oleh petani, tapi juga diklaim sebagai Tanah Magersari oleh Pakualaman. Tanah Magersari adalah tanah yang tak berlandaskan sertifikat, melainkan surat kekancingan dari pihak kraton yang menunjukkan bahwa tanah warga tersebut adalah Tanah Sultan atau Tanah Pakualaman. Tanah merah kenyataannya memang tak bersertifikat, tapi lahan yang tak diurus negara itu juga tak bersurat kekancingan.
Masyarakat pesisir dengan tegas menolak rencana penambangan. Masyarakat pesisir Kulon Progo mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Penambangan itu bisa menggusur tempat tinggal mereka, juga menggusur lahan pantai yang selama ini mereka tanami. Mereka pun mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai wadah penolakan mereka terhadap  rencana penambangan.
1 April 2006, PPLP resmi berdiri. Sudah enam tahun ini mereka terus melawan. Mereka konsisten menolak rencana penambangan. Perlawanan mereka menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal berarti mereka berhadapan dengan perusahaan tambang, pemilik modal asing, kraton dan negara. Konflik horizontal terjadi antar warga yang menolak penambangan dengan warga yang pro penambangan.
Ditengah-tengah sengketa lahan dan potensi konflik yang luar biasa, PPLP juga pernah mengalami teror, intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi. Kecemasan pun dirasakan warga peisisir, khususnya pengurus PPLP. Selain kecemasan akan kehilangan lahan, pengurus PPLP punya tanggung jawab mengatur massa PPLP yang berjumlah puluhan ribu. Itu menjadi “kecemasan tambahan” bagi mereka.

***
Siang itu (Senin, 2 April 2012) saya berdiskusi dengan K dan F, mereka berdua pegiat di Solidaritas Tolak Tambang Besi (STTB). Kami mengobrol di teras rumah kontrakan milik George Yunus Aditjondro, ilmuwan sosial yang sempat menggegerkan dengan bukunya, Membongkar Gurita Cikeas. George mengontrak sebuah rumah di daerah Mrican, dekat Kampus II Universitas Sanata Dharma. George tidak tinggal di sini. Rumah itu hanya digunakan untuk menyimpan buku-buku milik George yang jumlahnya luar biasa banyak. Para pegiat STTB sering memanfaatkan rumah ini sebagai tempat berkumpul.
STTB kerap mendampingi petani-petani Kulon Progo terkait permasalahan tambang pasir besi. K mengatakan, rencana penambangan itu membuat warga menjadi amat waspada kepada orang luar, tidak terkecuali peneliti yang hendak bikin penelitian di sana. Warga takut penelitian atau apapun yang dilakukan orang luar akan digunakan untuk memuluskan rencana penambangan. Kekhawatiran warga amat beralasan. Penambangan itu bisa menggusur tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini.
“Coba kamu masuk ke sana lewat Pak Kr saja. Beliau orangnya terbuka,” kata K. Pak Kr adalah salah satu pengurus PPLP yang tinggal di Desa Bugel. Pak Kr juga pernah membantu K ketika dia melakukan riset di Kulon Progo untuk kepentingan tesisnya.
F memberikan nomor telepon genggam Pak Kr kepada saya. Saat itu juga saya menghubungi Pak Kr. “Bilang kalau kamu temannya K,” kata K menyarankan. Strategi itu berhasil. Pak Kr bersedia menemui saya.   
Ketika sore menjelang, kami terpaksa menyudahi diskusi tentang penambangan pasir. K dan F harus menjemput teman mereka -sesama pegiat STTB- di terminal. Saya pun berpamitan pada mereka berdua. Sebelum pergi, K mengingatkan saya untuk berhati-hati. Jangan masuk lewat “pintu” yang salah.
Saya bersyukur cuaca hari Selasa 3 April 2012 amat bersahabat. Langit cerah, tidak ada awan mendung yang bergantung. Cerahnya hari membuat saya merasa nyaman menempuh perjalanan menuju pesisir Kulon Progo. Dari tempat tinggal saya di Jalan Kaliurang Km 14,5, perjalanan itu memakan waktu satu jam lebih. F bersedia menemani saya ke Kulon Progo.
Sempat mengalami insiden ban motor yang bocor, sekitar jam 14.00 WIB saya sampai di rumah Pak Kr. Pak Kr sudah menunggu kedatangan saya. Kami berbincang di teras rumahnya, duduk di kursi bambu.
Pak Kr lelaki paruh baya berwajah ramah. Rambutnya sudah memutih di beberapa tempat. Saat itu ia mengenakan kemeja batik. Pak Kr mulai bercerita tentang latar belakang masyarakat pesisir. Ia mengatakan, dulu masyarakat pesisir sangat miskin. Lahan pesisir yang merupakan lahan kritis tidak mendatangkan banyak kemakmuran. Lahan kritis hanya bisa ditanami tanaman seperti kentang dan ketela muntul (ubi jalar). Kondisi lahan yang tidak subur membuat masyarakat pesisir banyak yang merantau ke luar daerah. Di sana mereka jadi buruh. Ada juga yang menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri.
Namun, segalanya berubah pada tahun 1985. Ketika itu ada kemajuan teknologi untuk menggarap lahan kritis. Ada penemuan untuk mengatasi itu, yaitu dengan membuat pola penyiraman. Di lahan, sumur-sumur pun mulai dibuat. “Mulanya hanya sumur yang pakai bambu. Tapi itu berkembang terus,” kata Pak Kr.
Sekarang ini pola penyiraman sudah makin berkembang sejak petani mulai menggunakan pompa air. Tanaman di lahan kritis perlu disirami dua kali sehari karena kondisi tanah yang permeabilitasnya tinggi. Permeabilitas tinggi itu membuat air jadi cepat diserap tanpa mengendap.
Sejak penemuan teknologi itu, petani lahan pantai Kulon Progo mulai merasakan kemakmuran. Lahan pantai bisa ditanami berbagai jenis tanaman. Mulai dari cabai, melon, semangka, terong, tomat, dan lain-lain. Warga pun tidak lagi menjadi buruh di luar daerah. Mereka pulang kampung dan menggarap lahan pantai. Lahan pantai sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup.
“Nah itu. Tetapi tiba-tiba setelah kita merasakan kenikmatan hidup dari hasil pertanian, tiba-tiba pemerintah mau menggusur, mau menambang lahan yg kami kelola.”
Saya dapat melihat dengan jelas kemakmuran yang dikatakan Pak Kr. Sepanjang perjalanan ke Desa Bugel, saya melihat rumah-rumah yang sudah permanen, walaupun masih ada sebagian kecil yang berdinding bata. Jumlah rumah yang berdinding anyaman bambu dapat dihitung dengan jari. Ini pemandangan yang kontras dengan desa tempat saya menjalani pendidikan klinik stase Ilmu Kesehatan Masyarakat di Desa Jono, Kecamatan Tanon, Sragen. Di Jono banyak rumah yang masih berdinding anyaman bambu atau kayu. Lantainya juga masih tanah. Padahal Desa Jono dan Desa Bugel sama-sama desa agraris. Saya berani mengatakan warga Bugel jauh lebih makmur daripada Jono.
Kendaraan roda dua pun menjadi alat transportasi yang lumrah dimiliki masyarakat pesisir. Sepanjang perjalanan, saya banyak menjumpai petani pergi ke lahan dengan sepeda motor. Pak Kr sendiri memiliki lebih dari satu sepeda motor.
Pertanian tidak hanya mendatangkan kemakmuran. Penyakit mata yang dulu sering menyerang warga pun lenyap. Apa pasal? Ternyata di sini penyakit mata amat berkaitan dengan lahan yang terbuka, banyak debu yang terhembus angin. Terutama ketika musim kemarau datang, angin bertiup sangat kencang. Setelah lahan bisa ditanami, debu-debu pun tidak banyak lagi yang berterbangan.  
“Dulu kalau setiap musim kemarau pasti ada penyakit mata. Tapi sekarang ini sudah nggak muncul lagi penyakit mata. Ya kadang-kadang ada yang kena belekan itu, tapi kan tidak semuanya kena, mungkin cuma satu-dua,“ ujar Pak Kr, “Lha… dulu hampir semuanya kena penyakit mata. Luar biasa penyakit mata itu. Sampai kalau pagi itu mau membuka kelopak mata saja sulit. Blobok itu keluar, sampai lengket dan mengunci kelopak mata. Itu saya mengalami waktu masih kecil. Dan itu dirasakan oleh hampir semua orang.”
Pak kr mengatakan, warga di sini juga cemas potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat penambangan. Mereka juga khawatir gumuk-gumuk (bukit-bukit) pasir akan hilang akibat penambangan. Gumuk pasir itu terbentuk secara alami akibat pasir yang terbawa tiupan angin. Warga percaya gumuk pasir bisa menahan gelombang jika terjadi tsunami. “(Beberapa tahun  lalu) waktu tsunami di pangandaran itu, gelombang air laut di sini kan juga naik. Tapi itu tidak terlalu membahayakan karena masih ada gumuk-gumuk pasir. Di sana (Pangandaran) katanya sudah merata gitu…”
Pak Kr mengaku mengalami kecemasan selama enam tahun ini, sejak rencana penambangan pasir besi santer berdengung. Sering ia merasa sakit perut ketika pikirannya merasa tidak tenang. “Itu yang sering saya alami. Kalau pikiran tidak tenang, akhirnya perut yang terasa”.
 Kecemasan yang dialami Pak Kr bukan hanya karena cemas kehilangan tanah akibat penambangan. Sebagai pengurus PPLP, ia sering merasa cemas ketika “tensi” masyarakat meninggi. “Saya sempat nggak bisa tidur… Saya berusaha supaya masyarakat tensinya tidak terlalu tinggi, supaya kecurigaan masyarakat juga tidak terlalu tinggi pada orang luar. Pada mobil berplat merah terutama. “
“Dulu pernah ada orang-orang bermobil yang memotret-motret di lahan. Akhirnya mobil itu dirusak oleh massa. Saya merasa cemas juga, sempat tidak bisa tidur. Karena sebagai orang yang dituakan, tanggung jawabnya berat,” ujar Pak Kr.
Pak Kr memberi arahan pada saya untuk bertemu Bu S, atau yang biasa disapa Bu Tj. Bu S memang istri Pak Tj. Pak Tj adalah petani yang dikriminalkan karena menolak penambangan. Pak Tj terkenal berani dan vokal. Menurut buku Catatan Akhir Tahun 2010 Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dulu Pak Tukijo sering menerima teror melalui pesan singkat di ponselnya.
Pada 1 Mei 2011, Pak Tj ditahan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenagkan. Pak Kr menilai ada yang ganjil dari kasus Pak Tj. “Hakim memvonis tiga tahun. Padahal tuntutan jaksa hanya dua tahun. Padahal kan kasus Pak Tj hanya perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak tahu ini kok sampai 3 tahun. Sedangkan yang berbuat anarkis di Cikeusik itu (terhadap Jemaat Ahmadiyah) vonisnya hanya beberapa bulan. Padahal di sana sampai ada yang meninggal, tapi vonisnya hanya 4 bulan, 6 bulan,” ujar Pak Kr.
“Kalau yang lain kan kecemasannya ya kecemasan-kecemasan yang juga dirasakan oleh semua (kecemasan akibat penambangan). Kecemasan keluarga Pak Tj lain. Karena (kecemasan) mereka jelas dikaitkan dengan hukum, to. Orang tidak bersalah kok dihukum. Itu kan jadi luar biasa.” 
Tanpa terasa, kami sudah mengobrol selama lebih dari tiga jam. Saya pun berpamitan pada Pak Kr. Sebelum saya pulang, Pak Kr mengajak saya melihat lahannya. Jarak dari rumah ke lahan hanya sekitar setengah kilometer. Sekarang sedang musim tanam cabai. Lahan Pak Kr juga sedang ditanami cabai. Di sepanjang jalan, saya menyaksikan hamparan lahan pasir yang terbentang luas. Lahan-lahan itu tampak menghijau akibat pohon-pohon cabai yang sedang tumbuh.
Saya takjub melihat pohon-pohon cabai yang tumbuh subur di tanah pasir. Ini pertama kalinya saya menyaksikan cabai yang ditanam di lahan pasir.
Sebelum menanam cabai, petani-petani di sini baru saja panen semangka. Saya masih menemukan buah-buah semangka kering yang tergeletak begitu saja di lahan. “Sisa panen kemarin,” kata Pak Kr.
Lahan Pak Kr berjarak sangat dekat dari bibir pantai. “Cuma sekitar seratus meter dari pantai,” ujar Pak Kr. Dari lahan Pak Kr, birunya lautan dapat terlihat dengan jelas. Pemandangan yang luar biasa! 
***
Rabu, 4 April 2012. F kembali menemani saya ke Kulon Progo. Siang itu kami menuju ke rumah Bu Tj. Rumahnya berjarak dua kilometer dari rumah Pak Kr.
Kami sempat kebingungan menemukan rumah Bu Tj. Setelah bertanya pada perempuan yang menggendong anak kecil, akhirnya kami sampai di rumah Bu Tj. Rumahnya berdinding bata merah.
Saat itu di rumah hanya ada Ks, menantu Bu Tj. Ks sedang menyuapi anaknya yang berusia tujuh bulan. Bu Tj sedang tidak di rumah, ia masih di lahan.
Akhirnya Bu Tj datang setelah kami menunggu cukup lama. Saya menyampaikan maksud kedatangan saya. Namun, Bu Tj menolak diwawancarai. Bu Tj hanya berkata, “sudah ketemu Pak Kr kan, Mbak? Ya sama. Yang saya rasakan juga sama seperti yang dirasakan Pak Kr,” kata Bu Tj.
Saya pun mohon diri. Saya lalu memutuskan menemui Mas Wd, petani yang juga pengurus PPLP. Di perjalanan menuju rumah Mas Wd, F banyak bercerita pada saya. Keluarga Pak Tj memang sulit terbuka pada orang asing. Kasus hukum yang menjerat Pak Tj membuat keluarga itu pernah mengalami penipuan. Beberapa kali mereka dijanjikan bahwa Pak Tukijo bisa bebas asal mereka membayar sejumlah uang. Namun, janji-janji itu tak pernah terbukti…
Mas Wd sedang duduk di teras rumah ketika kami datang. Kami lalu berbincang-bincang di ruang tamu rumahnya.
Mas Wd mengatakan, ia sering merasakan perutnya sakit, asam lambungnya naik jika PPLP akan mengadakan event atau aksi. Event dan aksi yang diadakan PPLP selalu dijaga ketat oleh polisi, bahkan kadang tentara. Ia cemas bentrokan bisa terjadi. “Sering susah tidur juga kalau mau ada aksi,” kata Mas Wd menambahkan.
“Apa yang paling bikin cemas dari rencana penambangan ini?” tanya saya.
“Yang paling mencemaskan ya menggusur kehidupanku. Nanti aku hidup dimana? Itu yang paling bikin cemas,” jawab Mas Wd.
Mas Wd mersakan beban berat sebagai pengurus PPLP. “Ya pasti beban to. Gimana nggak? Ya namanya mengatur ribuan orang. Tiap kepala isinya nggak ada yg sama. Dan kita untuk menyamakan persepsi itu kan juga susah.
Ini sudah masuk tahun ketujuh. Sudah lama lho itu. Kalau ini bukan betul-betul perjuangan akar rumput ya sudah hancur itu. Dengan iming-iming uang yang segitu banyaknya dan kita sendiri kan betul-betul harus jeli untuk melihat sesuatu, baik di dalam PPLP maupun di luar PPLP. Seperti bagaimana dengan situasi, apa yang harus kita lakukan. Betul-betul harus bisa mengolah. Makanya kadang-kadang kayak yang aku katakan tadi, kalau pikiran berat itu terus larinya ke perut.  Asam lambung naik. Jelas kurang istirahat juga. Selama (hampir) tujuh tahun itu kerap mengalami itu setiap mau ada acara yang di situ berpotensi akan timbul konflik. Harus memikirkan bagaimana caranya meredam konflik, kalau misalnya terjadi konflik, nanti pasca konflik itu akan gimana.”
Mas Wd menambahkan, tidak semua orang bisa menghadapi keadaan seperti itu. “Betul-betul butuh keberanian untuk mengambil sebuah keputusan,” ujarnya.
Besarnya potensi konflik yang mungkin muncul juga menjadi beban tersendiri bagi Mas Wd. Meskipun warga yang pro tambang tidak banyak jumlahnya, timbul kerentanan terjadi gesekan antara warga yang pro tambang dengan warga yang menolak tambang. Mas Wd menceritakan kejadian di Desa Karangwuni. “Di Karangwuni itu kan kemarin ada orang mati. Itu katakanlah anaknya kerja di tambang.  Tetangganya nggak ada yang hadir melayat. Biarpun cuma tetangga sebelah rumah pun nggak datang. Sampai segitunya itu lho. Lha itu yang layat cuma orang-orang jauh. Keluarganya sendiri kalau masih tetangga pun nggak datang. Karena takut juga to. Itu kan hukum sosial. Ketika orang itu datang melayat ke situ, ya dia (dianggap) ikut pro.“
***
Kamis itu (5 April 2012) saya menemui teman saya, ISN, yang bekerja di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. ISN menunjukkan pers rilis keluaran LBH Yogyakarta terkait penolakan warga terhadap penyusunan AMDAL bagi penambangan bijih besi di Kulon Progo.
Amdal atau analisis mengenai dampak lingkungnan adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. Sedangkan pengertian dari dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Lingkungan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik maupun biologi, tetapi juga aspek sosial-ekonomi-budaya dari manusia yang tinggal di wilayah tersebut.
“Proses penyusunan Amdal masih berjalan. Padahal warga menolak,” kata ISN. Selain itu, rencana penambangan ini rentan mencederai hak warga atas kepemilikan tanah. “Konflik lahan pasti terjadi. Lahan yang mau ditambang itu kan terdiri dari tanah merah (tanah negara), tanah Pakualaman dan tanah warga sendiri. Masih ada konflik terkait batas-batas tanah yang tidak jelas.”

***
Saya juga menemui AC. Ia mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM. AC teman saya yang pernah mengumpulkan data-data pelanggaran HAM di Kulon Progo. Data itu ia kumpulkan untuk menyusun laporan yang ditujukan pada Human Right Watch.
Tidak seperti saya yang ditolak saat hendak mewawancarai Bu Tj, AC berhasil mewawancarai Bu Tj. “Tampak sekali kecemasan pada Bu Tj. Tulang punggung keluarganya ditahan. Waktu aku bertanya soal ekonomi keluarga, bu Tj menjawab kalau ekonomi keluarga jadi morat-marti,” kata AC.
AC menjelaskan tentang teori konflik dalam kaitannya dengan konflik vertikal dan horizontal di Kulon Progo. “Teori konflik yang paling mendasar ialah membiarkan konflik itu terjadi, dan konflik itu akan terus berkembang.” Menurut AC, konflik horizontal lah yang justru akan makin berkembang. “Sekalipun tambang batal, konflik horizontal itu akan tetap ada. Sebab orang-orang yang pro tambang pasti kan mengharapkan sesuatu (dari penambangan pasir besi). Mereka pasti sakit hati kalau tambang batal. Dan mereka jadi marah pada warga yang menolak penambangan. Sebab tambang jadi batal gara-gara warga yang menolak,” katanya melanjutkan.
AC juga datang ketika PPLP merayakn ulang tahun yang keenam tanggal 1 April lalu. Ia bercerita pada saya tentang perayaan ulang tahun kemarin. “Ulang tahun PPLP yang terakhir kemarin banyak muatan religiusnya. Malam pengajian, siang juga pengajian lagi. Di satu sisi, pengajian itu bisa meredam kecemasan, di sisi lain itu juga bisa memberikan optimisme bahwa perjuangan mereka akan dibantu oleh kekuatan-kekuatan transendental (Tuhan)…”     

***
Kondisi Kejiwaan
Konflik itu sudah berjalan selama enam tahun, kini memasuki tahun ketujuh. Warga merasa cemas akibat rencana penambangan yang bakal membuat mereka kehilangan lahan, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan menciptakan konflik-konflik antar sesama warga. Ini jelas bukan permasalahan sederhana. Semua terlibat, mulai dari negara, pemodal asing, sultan, kraton, aparat kemanan, dan warga pesisir Kulon Progo.
Kecemasan yang dialami Pak Kr dan Mas Wd menimbulkan gejala-gejala otonomik seperti gangguan lambung ringan dan sulit tidur. Ketika mewawancarai Pak Kr, beliau juga bercerita tentang pengurus PPLP bernama Pak Sd yang tinggal di Desa Karangwuni. Pak Sd sering tidak bisa tidur sehabis rapat PPLP. “Pak Sd sampai stress, kagol, cemas, bahkan pernah sampai menyiapkan senjata,” kata Pak Kr.
Dalam buku Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri, kecemasan didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut.
Masih menurut buku tadi, sensasi kecemasan sering dirasakan oleh hampir semua orang. Perasaan cemas ditandai dengan rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada dan gangguan lambung ringan.
Saya sepakat dengan AC yang mengatakan bahwa muatan religius (berupa pengajian) saat ulang tahun PPLP kemarin bisa meredam kecemasan. Sekiranya warga Kulon Progo perlu bersama-sama meningkatkan keterlibatan aktivitas religius untuk meredam kecemasan.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran jiwa, aktivitas religius mempunyai peranan besar untuk menunjang kesehatan mental seseorang. Contohnya dalam jurnal Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study. Dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya keterlibatan aktivitas religius sebagai faktor risiko bunuh diri di Bali. 
 
Daftar Pustaka

Kaplan dan Cadock. 1997. Kaplan dan Cadock : Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara, Jakarta

Kurihara dkk. 2009. Risk factors for suicide in Bali : a psychological autopsy study.
BMC Public Health 2009, 9:327 doi:10.1186/1471-2458/9/327

Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. 2010. Catatan Akhir Tahun Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Yogyakarta

Majalah Natas. Tahun terbit 2010

(Epilog : Ada yang menarik ketika saya mempresentasikan laporan ini ke dua orang dosen penguji di kampus. Salah seorang dosen penguji berkomentar, masalah penolakan ini juga berkaitan dengan harga diri para petani di sana. Harga diri para petani ikut tercederai karena rencana penambangan pasir besi. Keberhasilan mereka menciptakan teknik bercocok tanam yang membuat lahan kritis bisa ditanami akan diobrak-abrik akibat tambang besi. Kurang lebih dosen saya bilang, "penolakan tambang itu juga soal harga diri. Usaha keras mengubah lahan kritis jadi bisa ditanami akan hancur kalau penambangan jadi dilakukan. Itu kan semacam melukai harga diri petani.")

2 komentar:

  1. bisakah saya menjadikan tulisan anda sebagai salah satu referensi dari skripsi yg saya buat saat ini? kbetulan berkaitan :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan, Sendy. Alamat emailmu apa? Biar nanti aku kirim versi yang narasumbernya tidak anonim. Semoga lancar skripsinya :)

      Hapus