Senin, 02 April 2012

Dua Kekalahan


Mendadak sebuah kenangan menempeleng kepalaku. Aku yang sedang mengemasi majalah-majalah lama ke dalam kardus tak siap dengan serangan itu. Dari sebuah majalah kampus lawas yang kupegang, si kenangan meloncat keluar lalu menghantami kepalaku tanpa ampun. Aku jatuh terduduk, tapi si kenangan tetap tak memberi ampun.
Lalu tiba-tiba ia menghentikan serangannya. Aku terengah, mencoba mengumpulkan kesadaranku. Naas, belum selesai upayaku mengumpulkan kesadaran, serangan selanjutnya keburu datang. Kali ini ia tidak memukul, ia masuk ke dalam kepalaku lewat lubang telingaku.
Di dalam kepala, ia menggiring otakku pada ingatan enam tahun silam. Tanpa bisa mengelak, ingatanku menerawang pada peristiwa itu. Kandas sudah rencanaku mengemasi buku dan majalah yang akan kubawa pindah ke ibu kota.
***
Hari itu tak akan pernah lenyap dari ingatanku, Kamis, 26 September 2004. Aku ingat persis bagaimana garis-garis wajah bapak Suriyanto mengeras. Senyum yang biasanya ramah telah lenyap. Jari telunjuk tangan kananku terus mengetuk-ngetuk paha, aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku. Kursi kayu yang kududuki terasa sangat tidak nyaman. Walaupun ruangan dosen ini ber-AC, aku merasakan setets keingat dingin yang mengalir turun dari tengkukku.
“Kamu pintar, Andi. Nilai tugas dan kuismu selalu bagus. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya tidak masuk kelas. Kamu tidak masuk tujuh pertemuan dan sekarang kamu minta saya mengizinkan kamu ikut ujian akhir semester. Mengapa kamu sering tidak masuk kelas?”
Aku memberanikan diri menatap matanya yang terbingkai kaca mata bulat. “Semester ini saya mengerjakan majalah kampus, Pak. Saya pemimpin redaksinya. Karena berpacu dengan deadline dan lima orang staf redaksinya mangkir, saya terpaksa membolos beberapa kali unruk menyelesaikan liputan majalah. Maaf, Pak,” dua kata yang terakhir itu kuucapkan dengan sangat lirih. Ia tersenyum dengan hanya menarik sebelah bibirnya, meremehkan argumenku.
“Dulu saya juga aktivis ketika mahasiswa. Tapi saya tidak pernah sampai melobi dosen untuk diizinkan ikut ujian,” ujarnya. Aku hanya bisa diam mendengar kata-kata dosen Matematika Ekonomi itu. Tentu saja dulu Bapak tidak pernah melobi dosen. Dulu mana ada peraturan sialan yang mengharuskan kehadiran minimal tujuh puluh persen!
Sesaat tercipta keheningan yang tidak nyaman. Aku tak tahu harus berkata apa untuk memecah keheningan itu. Bapak Suriyanto menghela nafas panjang. “Kamu bawa majalahnya? Coba saya lihat, apa benar kamu sibuk mengerjakan majalah kampus.” Aku meraih tas ranselku yang kutaruh di lantai. Kukeluarkan sebuah majalah yang masih mulus dari tas ransel using, tas yang sudah kupakai sejak masih di sekolah menengah atas.
Aku mengulurkan majalah berkulit muka warna merah itu kepada Bapak Suriyanto. Ia menermianya dengan agak kasar. Dahinya sedikit mengerenyit ketika melihat kulit mukanya. Ia mulai membaca, sesekali membalik halaman. Kacamatanya sedikit melorot di batang hidung. Sekali lagi tercipta keheningan.
Hening itu memberi ruang bagi pikiranku untuk melayang kemana-mana. Pikiranku terbang menembus dinding-dinding ruang dosen, melayang ke ingatan sebulan lalu. Ingatan tentang proyek pembangunan mal di sebuah jalan utama. Jalan yang dinamai dengan nama seorang pahlawan.
Aku dan Wisnu, fotografer majalah kampus, meliput pembangunan Ambar Plaza, sebuah mal yang katanya akan jadi mal terbesar di Yogyakarta. Memang pembangunan tersebut sedang ramai jadi buah bibir masyarakat Yogyakarta. Terutama ketika tersiar kabar bahwa pembangunan itu akan menggerus sebagian tembok Gedhong Kanan. Gedhong Kanan ialah paviliun sebelah kanan dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambar.
Rupanya kabar itu benar. Sehari setelah beredar kabar tentang penggerusan tembok Gedhong Kanan, pukul enam pagi aku dan Wisnu langsung menuju lokasi pembangunan Ambar Plaza. Seng-seng putih tebal setinggi dua meter tersusun rapi untuk menutupi pemandangan di dalam proyek pembangunan mal. Kami masuk lewat gerbang kecil yang tidak dijaga satpam.
Begitu masuk ke dalam lokasi proyek, kami terkejut! Ternyata sebagian tembok Gedhong Kanan telah benar-benar digerus. Alat berat yang digunakan untuk merobohkan tembok masih diparkir di dekat reruntuhannya.
Aku setengah tak percaya. Kuasa kapital telah menghancurkan nilai sejarah. Dewa Kapital lebih berkuasa daripada Kerajaan Yogyakarta. Dengan iming-iming pendapatan asli daerah yang besar, mereka yang memerintah Yogyakarta telah bertekuk lutut pada Dewa Kapital. Mereka melalaikan apa yang telah dimiliki, yang seharusnya dijaga bersama.
Oh, Dewa Kapital. Tahukah kau, Dewa Kapital? Gedhong Kanan itu bangunan dengan nilai sejarah yang tak terhingga. Tempat ini menjadi peristirahatan terakhir Raja Ketujuh dan pernah menjadi tempat tetirah bagi para utusan dari Kasunanan!
Suara shutter kamera SLR milik Wisnu menyadarkanku dari lamunan tentang Dewa Kapital. Wisnu terus memotret. Aku mengedarkan pandangan, belum ada siapa-siapa di lokasi proyek. Aku dan Wisnu berjalan mendekati reruntuhan tembok Gedhong Kanan. Wisnu berjalan lebih cepat di depanku. Ia ingin mengambil gambar reruntuhan itu dari dekat.
“Hei! Jangan memotret!” Tiba-tiba sebuah suara kasar dan berat menghardik kami. Seorang satpam berlari ke arah kami. Kulitnya hitam, tubuhnya tinggi besar. Wisnu tetap memotret, mengacuhkan teriakan itu.
“Jangan memotret!” teriaknya sekali lagi. Wisnu tetap mengabaikan perintah itu. Jika Wisnu sudah berkeyakinan bahwa suatu peristiwa layak diberitakan, ia tak mau dihentikan. Keyakinan bahwa kebenaran harus disiarkan menjadi harga mati bagi Wisnu.
Satpam itu semakin mendekat. Wisnu berbalik dan memotret satpam itu. Setiap ia melarang Wisnu memotret, Wisnu malah memotretnya berkali-kali. Satpam itu naik pitam. Ia berusaha merampas kamera Wisnu. Wisnu mengamankan kameranya dengan tangkas.
“Saya wartawan, Pak,” kata Wisnu sambil menunjukkan kartu pers yang dikalungkan di leher.
“Saya bilang jangan memotret!”
“Kenapa tidak boleh memotret?”
“Saya bilang jangan memotret! Sini! Berikan filmnya!”
“Nggak!” Wisnu balas berteriak.
Sekali lagi satpam berusaha merampas kamera. Wisnu mulai kualahan mengamankan kamera. Tubuh kurusnya nyaris terjatuh ketika berusaha menjauhkan kamera dari jangkauan satpam. Aku berlari ke arah Wisnu. Aku menarik tangan si satpam, mencegahnya mengambil kamera. Dengan gerakan cepat, satpam mendorongku. Tubuhku yang sama kurusnya dengan Wisnu langsung terjembab di tanah. Lututku membentur batu. Nyeri hebat langsung menikam.
Aku meludahkan butiran-butiran tanah yang masuk ke mulut. Cepat-cepat bangkit berdiri untuk membantu Wisnu. Tak kuhiraukan nyeri di lutut. Aku mencengkram kerah belakang baju si satpam, menariknya menjauhi Wisnu.
Di tengah pergumulan, sebuah suara mengejutkan kami, “ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” Kami berhenti berebut, menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki separuh baya berkulit putih mendekati kami. Wajahnya tampak marah. Ia mengenakan celana kain warna hitam dan kemeja biru muda. Dasi coklat melengkapi penamiplannya yang rapi. Kelihatannya ia orang yang punya kuasa di proyek.
“Ada apa ini?” tanyanya pada satpam.
“Anu…mereka memotret di proyek ini tanpa izin, Pak”
“Di proyek ini tidak ada peringatan dilarang memotret, Pak” Wisnu menyela.
Lelaki berkulit putih itu melihat ke sekeliling. Kami yang sibuk berebut kamera tidak memperhatikan kalau beberapa wartawan lain juga sudah mulai berdatangan. Sebagian dari mereka menenteng kamera. Kedatangan wartawan-wartawan lain membuat si lelaki berkulit putih tampak gusar. “Lelaki itu pasti tidak mau keributan kami diketahui wartawan lain,” kataku dalam hati. Benar saja. Ia minta maaf atas kelakuan si satpam. Ia juga meminta kami segera meninggalkan lokasi proyek.
Kami langsung meninggalkan lokasi proyek. Aku berjalan tertatih. Nyeri masih merambati kakiku. Wisnu jalan di sampingku sambil memasukkan kamera ke dalam tas. Aku melirik arlojiku. Sekarang jam 07.30. Tidak mungkin aku mengikuti kelas bapak Suriyanto, aku sudah terlambat tiga puluh menit. Sekali lagi aku terpaksa membolos. Aku tak ingat ini kali keberapa aku membolos kelasnya. Sialan! Lima orang staf redaksi yang mangkir membuatku terpaksa mengerjakan jatah liputan mereka. Semoga aku masih bisa ikut ujian.
***
Sekarang pikiranku terbang ke kampung halamanku di Notog, Banyumas. Sumpah! aku tak akan memohon pada dosen jika tidak ingat keluargaku di kampung. Bapak ibuku yang petani sudah mulai renta. Tangan mereka yang keriput kucium setiap kali aku pamit kembali ke Yogyakarta.
Sekira enam bulan lalu ketika aku pulang kampung, kuperhatikan benar bagaimana dinding anyaman bambu rumahku mulai lapuk. Beberapa kayu penyangga rumah keropos di sana-sini.
Pada suatu malam, di teras rumah aku dan bapak duduk-duduk di kursi bambu. Kami mengobrol sambil menyantap sepiring pisang rebus buatan ibu. Tak ketinggalan, dua gelas kopi ikut menemani kami. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dari sawah-sawah dekat rumah. Angin malam berhembus sesekali, mengantarkan hawa dingin.
Bapak membuka obrolan dengan bercerita tentang harga pupuk yang terus naik. “Regane larang lan angel digolet,” kata bapak dengan logat Banyumasnya yang kental. Bapak terus berkisah tentang pupuk yang mahal dan sulit di cari itu. Ia membandingkannya dengan dua puluh tahun yang lalu. Sekarang kehidupan petani semakin sulit. Pada musim tanam, sebagian petani terpaksa berhutang untuk membeli bibit dan pupuk karena harganya tak lagi murah. Hutang itu baru bisa dibayar ketika panen. Namun jika panen gagal, petani dipastikan merugi. Bapak sendiri sudah hutang dua juta rupiah pada pak lurah. Ia juga bercerita tentang teman-temannya yang akhirnya menjual sawah mereka untuk melunasi hutang.
Aku menyalakan rokok. Giliran aku yang bercerita pada bapak tentang beasiswa prestasi yang kudapatkan. Bapak tak perlu mengkhawatirkan biaya kuliahku semester ini. Bapak tersenyum penuh arti. Matanya menyiratkan kebanggaan. Ia menepuk bahuku sambil mendoakanku supaya jadi anak yang berhasil. “Ya muga-muga dadi bocah sing mulya,” katanya.
Bapak mengambil rokok kretek yang ia selipkan di telinga. Rambutnya yang sudah memutih membuatku tak sadar kalau ia menyelipkan rokok di telinga. Ia pinjam korekku untuk menyalakan rokok. Bapak tidak berkata apa-apa lagi. Kepalanya sedikit mendongak, matanya menerawang memandang langit yang berbintang. Seulas senyum belum lenyap dari bibirnya. Setelah rokoknya habis, bapak membetulkan lilitan sarung yang dikenakan. Tangan kirinya menarik lengan kaus lusuh yang agak melorot ketika ia membetulkan sarung. Bapak menepuk bahuku sekali lagi, ia lalu masuk ke rumah.
Aku masih tak bergeming dari teras, menyandarkan tubuhku di punggung kursi bambu. Dua juta rupiah… jumlah yang sangat besar bagi keluargaku. Padahal baru tiga minggu lalu bapak berhasil melunasi hutangnya pada pak lurah, jumlahnya tiga juta rupiah. Uang pinjaman itu ia gunakan untuk membayar biaya masuk kuliahku setahun yang lalu.
Aku menatap kursi yang tadi diduduki bapak. Senyum penuh arti bapak terpatri di kepalaku. Bapakku, laki-laki kampung yang punya kemauan keras untuk menyekolahkan anak semata wayangnya sampai perguruan tinggi. Bapak ingin aku punya kesempatan yang lebih baik daripada membantunya di sawah, daripada menjadi petani.
Malam itu aku berjanji. Walaupun aku sibuk jadi pemimpin redaksi, aku akan berusaha mempertahankan beasiswa yang kudapat. Aku tak ingin memberatkanmu, Pak...
***
“Baiklah, Andi.” Kata-kata Bapak Suriyanto langsung membawa pikiranku kembali ke ruang dosen. Pengembaraannya ke lokasi proyek dan Notog telah selesai. Bapak Suriyanto meletakkan majalah di meja. Sekarang ia menatapku tajam.
“Saya tahu kamu dapat beasiswa. Kalau tidak ikut ujian mata kuliah saya, kamu khawatir IPmu jatuh dan beasiswamu dicabut?” Aku mengangguk. “Aku akan menyulitkan bapak jika beasiswaku sampai dicabut,” kataku dalam hati.
Bapak Suriyanto melanjutkan. “Padahal kamu butuh beasiswa. Lalu kenapa kamu aktif di pers kampus? Kesibukannya malah membuatmu tidak bisa ikut kelas saya.”
Aku diam sejenak, bingung harus berkata apa. Akhirnya aku memberikan penjelasan. “Karena di kantor pers kampus saya bisa pakai komputer, Pak. Saya baru bisa mengoperasikan komputer sejak ikut pers kampus. Saya juga jadi memiliki sahabat-sahabat, mereka selalu membantu saya jika saya mengalami kesulitan. Mereka sering meminjami saya buku, bahkan uang. Satu lagi, Pak. Saya pernah mewawancarai seorang guru besar fakultas ekonomi dan sempat bertukar pikiran dengan beliau setelah wawancara selesai. Saya cuma orang dusun, Pak. Kalau bukan karena ikut pers kampus, saya tak mungkin memiliki peluang-peluang itu,” kataku.
Bapak Suriyanto bersandar pada punggung kursi. Ia melepas kaca matanya, meletakkan di meja. Ia menggosok-gosokkan tangan ke wajahnya. “Ya sudah. Besok pagi saya akan bilang ke pengajaran supaya kamu diperbolehkan ikut ujian.” Aku mengucapkan terima kasih. Sekeitka itu juga rasa lega memenuhi hatiku. Karena tak tahu lagi apa yang harus kukatakan, aku mohon diri.
Aku sudah bersiap membuka pintu ruang dosen ketika bapak Suriyanto bertanya lagi padaku.
“Saya mau tanya satu hal lagi sama kamu. Menurutmu, apa tindakanmu melobi saya ini adalah hal yang benar?”
“Salah, Pak. Saya telah melanggar peraturan. Peraturan tetap saja peraturan, walaupun saya membenci aturan itu. Jujur, jika keuangan keluarga saya sedang baik, saya lebih pilih mengulang mata kuliah Bapak tahun depan,” ujarku lirih.
“Kamu tahu, Andi? Saya yakin orang-orang yang kamu beritakan di majalahmu itu awalnya seperti kamu.”
“Maksud, Bapak?” tanyaku bingung.
“Mereka tidak kuasa melawan apa yang mereka anggap salah. Saya yakin, jauh di lubuk hati mereka, mereka pun menganggap merobohkan tembok Gedhong Kanan bukanlah tindakan yang benar. Tapi mereka tak berdaya melawan apa yang mereka anggap salah. Sama seperti kamu, Andi. Kamu mengamini kalau tindakanmu salah. Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi...”
Tanganku gemetar ketika membuka pintu ruang dosen. Kata-kata bapak Suriyanto bagaikan pisau yang menusuk dadaku, menghunjam tepat di jantung...
***
Kenangan itu sudah keluar dari kepalaku. Tetapi ia tidak pergi, sekarang ia duduk di sudut kamar kosku yang berantakan. Aku membenamkan wajahku ke kedua telapak tangan. Badanku gemetar. Enam tahun sudah berlalu, tapi kenangan itu masih mampu membuat perasaanku tercabik. Bagiku kenangan itu adalah dua kekalahan dalam waktu yang bersamaan. Warisan sejarah yang ditumbangkan Dewa Kapital dan ketidakberdayaanku dalam melawan sikap salah itu.
Aku meraih bungkus rokok yang tergeletak di lantai. Merokok biasanya bisa membuatku lebih tenang. Kuhisap rokokku dalam-dalam, berharap efek nikotinnya mampu menyingkirkan kata-kata bapak Suriyanto yang sekarang terus bergaung di telingaku. “…Tapi karena takut uang beasiswa dicabut, kamu tetap melakukan tindakan yang kamu anggap salah… jangan sampai kelak kamu juga jadi seperti mereka. Hati-hati dengan sikapmu sendiri, Andi...”
Kuhisap rokokku lebih dalam. Aku mengalihkan pikiranku dengan membayangkan pekerjaan baruku di ibu kota. Aku diterima sebagai salah satu peneliti di sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Pekerjaan itu jauh lebih menarik minatku daripada pekerjaanku sekarang, outsourcing di bank swasta. Lagipula aku sudah bosan tinggal di Yogyakarta.
Aku melirik ke sudut kamar. Sialan! Si kenangan masih duduk di sana. Ada yang bilang kenangan itu seperti tato, tidak pernah benar-benar hilang…
Ada juga yang bilang kenangan itu seperti perantau, mereka selalu kembali pulang…
Catatan : Di Yogyakarta, Rabu, 25 Agustus 2004, pembangunan mal Plaza Ambarrukmo telah menggerus sebagian tembok Gedhong Tengen, sebuah pavilion sebelah kanan dari situs bangunan bersejarah kraton Pesanggrahan Ambarrukmo. Dalam sejarahnya, tempat itu jadi peristirahatan terakhir Sultan Hamengku Buwono VII dan tempat tetirah bagi para utusan dari Kasunanan Surakarta.

* Ini versi yang berbeda dari yang dimuat di Majalah Horison edisi Januari 2012. Ini versi sebelum diedit oleh editor Horison. Versi yang telah diedit oleh editor majalah Horison bisa dilihat di sini.